Jumat, 04 November 2011
KISI-KISI UAS GANJIL PELAJARAN AGAMA KATOLIK UNTUK SMP KELAS 9
1. Allah berkehendak menyelamat-kan semua orang:
* menjelaskan bahwa Allah menyelamatkan umat manusia melalui berbagai macam cara, 1,2
* menjelaskan peran Yesus Kristus dalam menyelamatkan umat manusia, 3,4
2. Beragama:
* menjelaskan pengertian agama, peristiwa-perisstiwa yang memprihatinkan dan yang membanggakan dalam hidup beragama, baik dialami secara pribadi atau bersama-sama dalam masyarakat, 5,6
* menjelaskan makna hidup beragama dan berbagai konsekuensinya berdasarkan dokumen Gereja NA no.1 ,7,8
3. Beriman:
* menjelaskan arti iman, hubungan antara iman, agama, dan perbuatan. 9,10,41
4. Beriman Kristiani:
* menjelaskan makna beriman kepada Kristus, ciri khas iman Kristiani, aspek-aspek hidup beriman Kristiani, dan pandangan Gereja tentang perlunya pengembangan iman, 11,12,42
5. Perjuangan pengembangan iman :
* menyebutkan manfaat menghadiri kegiatan pengembangan iman dalam kelompok umat, 13,14
6. Iman dan kebersamaan dalam jemaat:
* menjelaskan sifat iman yang personal dan sosial, peran umat beriman dalam pengembangan iman pribadi, dan tanggung jawab untuk pengembangan iman pribadi dan sesama. 15,16
7. Aku warga masyarakat :
* menjelaskan arti masyarakat, sikap-sikap yang perlu dikembangkan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara seturut teladan Yesus, 17
8. Para pemimpin masyarakat:
* menyebutkan ciri-ciri pemimpin yang baik, 18
* menjelaskan pandangan Gereja tentang sikap masyarakat terhadap pemimpinnya, 19,20
9. Kebebasan yang bertanggung jawab:
* menjelaskan teladan Yesus sebagai pemimpin, 21,22
* menjelaskan arti kebebasan menurut ajaran Gereja. 23
10. Menjunjung tinggi martabat manusia:
* menjelaskan bahwa manusia sebagai citra Allah memiliki martabat luhur, 24,25,43
* menjelaskan perjuangan Yesus dalam membela keluhuran martabat manusia, 26,27
* menyebutkan sikap dasar yang diperlukan demi pengembangan martabat manusia, 28,29,44
11. Membela kehidupan:
* menjelaskan firman Allah kelima dalam 10 Perintah Allah, 30,31
* menyebutkan contoh-contoh tindakan yang dapat dilakukan untuk membela kehidupan. 32,33
12. Memelihara dan memperjuangkan kehidupan secara sehat:
* merumuskan pandangannya tentang hidup yang sehat, 34
* menjelaskan pandangan Kristiani tentang perlunya mengusahakan hidup sehat, 35,36
* menyusun suatu rencana kegiatan bersama untuk mengembangkan hidup yang sehat, 37,38
13. Menjaga kelestarian lingkungan hidup:
* menjelaskan pandangan Kristiani tentang pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup, 39,45
* menyusun rencana untuk gerakan cinta lingkungan hidup. 40
Kamis, 03 November 2011
KISI-KISI UAS GANJIL PELAJARAN AGAMA KATOLIK UNTUK SMP KELAS 8
1. Sengsara dan wafat Yesus:
* memahami aneka ragam penderitaan, penyebab penderitaan, dan sikap yang muncul saat mengalami penderitaan, 1,2
* memahami bahwa sengsara dan wafat Yesus merupakan perjuangan-Nya untuk menegakkan nilai-nilai Kerajaan Allah, 3,4
2. Kebangkitan Yesus:
* menjelaskan makna kebangkitan Yesus sebagai pembenaran diri-Nya oleh Bapa berkat perjuangan-Nya menegakkan Kerajaan Surga, 5,6,41
* menyebutkan pengalaman-pengalaman bangkit dari kematian dalam kehidupan sehari-hari. 7,8,9
3. Yesus Kristus pemenuhan janji Allah:
* menjelaskan latar belakang dan isi janji seperti diungkapkan dalam Kejadian 3:15, 10,11
* menjelaskan makna Yesus Kristus adalah pemenuhan janji Allah, 12,13
4. Yesus Kristus sungguh Allah dan sungguh Manusia:
* menjelaskan kutipan Kitab Suci yang menunjukkan bahwa Yesus Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia, 14,15
* mewujudkan aksi nyata sebagai wujud pengungkapan kehadiran Allah dalam realitas manusia. 16,17,18,42
5. Yesus memanggil murid-murid-Nya:
* menceritakan kembali kisah panggilan para murid Yesus, 19,20
* menjelaskan arti mengikuti Yesus Kristus, 21,22,43
6. Cara murid Yesus dalam persekutuan:
* menjelaskan cara hidup murid-murid Yesus dalam persekutuan (Kis 4:32-37; 2:41-47), 23,24
7. Tugas perutusan murid-murid Yesus:
* menemukan makna tugas pengutusan murid-murid Yesus yang lain (Luk 10:1-12.17-20), 25,26
8. Teladan Maria dalam mengikuti Yesus Kristus:
* menjelaskan alasan Gereja menghormati Bunda Maria, 27,28
* menguraikan tindakan yang dapat diteladani dari Bunda Maria. 29,30
9. Yesus mengutus Roh Kudus:
* menceritakan kembali isi janji Yesus untuk mengutus Roh Kudus (Yoh 14:15-20.25-26; 15:4b-11), 31,32
* mengisahkan kembali peristiwa Pentakosta (Kis 2:1-13), 33
* mengungkapkan dampak kehadiran Roh Kudus saat peristiwa Pentakosta dalam diri para rasul, 34,35,44
* menyebutkan berbagai macam simbol kehadiran Roh Kudus beserta maknanya, 36,37
10. Roh Kudus mempersatukan para murid Yesus:
* menjelaskan macam-macam unsur yang dapat menjadi perekat persatuan, 38
* menjelaskan makna kehadiran Roh Kudus dalam persekutuan para murid Yesus (Ef 4:1-7.11-16), 39
* membuat refleksi tentang kesatuan dan persatuan tentang hidup menggereja. 40,45
KISI-KISI UAS GANJIL PELAJARAN AGAMA KATOLIK UNTUK SMP KELAS 7 TAHUN AJARAN 2011-2012
1. Martabat luhur manusia sebagai citra Allah:
* menyebutkan perbedaan manusia dan ciptaan Tuhan lainnya, 1,2
2. Panggilan manusia sebagai citra Allah:
* menjelaskan manusia sebagai citra Allah (bdk. Kej 1:26-2:17 dan GS 12), 3,4
* menyebutkan sikap dan perilaku serta tugas manusia yang mencerminkan dirinya sebagai citra Allah, dan tindakan yang bertentangan dengan citra Allah. 5,41
3. Aku memiliki kemampuan:
* menemukan pesan yang berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya demi pengembangan diri dan sesama berdasarkan Injil Matius 25:14-30, 6,7
4. Kemampuanku terbatas:
* menjelaskan sikap-sikap positif dan negatif dalam menghadapi keterbatasan, 8,9
5. Syukur atas hidup:
* membuat moto yang menggambarkan keinginan meraih sukses sekalipun memiliki keterbatasan, 10,11
*menjelaskan makna syukur berdasarkan Luk 17:11-19. 12,13,42
6. Aku diciptakan baik adanya sebagai perempuan atau laki-laki:
* menyebutkan ciri-ciri pokok laki-laki dan perempuan, 14,15
* menguraikan maksud Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sesuai Kej 2:18-25, 16,17
7. Perempuan dan laki-laki sederajat:
* menjelaskan pandangan Kitab Suci tentang kedudukan laki-laki dan perempuan, 18,19
* menjelaskan usaha-usaha yang dapat ditempuh agar tercapai kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan. 20,21
8. Seksualitas sebagai anugerah Allah:
* menjelaskan maksud Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, 22,23,24
* menjelaskan perbedaan makna seks dan seksualitas, 25,26
* menjelaskan arti hidup yang benar di hadapan Allah, 27,28,43
9. Penghayatan seksualitas yang benar:
* menjelaskan nilai luhur seksualitas di hadapan Allah, 29,30
* menjelaskan maksud larangan Tuhan pada perintah keenam, "Jangan berzina" (Kel 20:14), dan perkataan Paulus bahwa tubuh kita adalah Bait Roh Kudus (1Kor 6:13b-20). 31,32
10. Persahabatan:
* menjelaskan peran sahabat dalam kehidupan setiap orang, 33,34,44
* menjelaskan contoh persahabatan antara Daud dan Yonatan, serta sikap-sikap yang dapat mengembangkan atau merusak persahabatan, 35,36
11. Persahabatan sejati:
* menceritakan kembali sabda Yesus tentang sahabat sejati, 37,45
* menjelaskan jenis-jenis persahabatan, 38
12. Pacaran:
* menjelaskan arti pacaran, 39
* menjelaskan batasan-batasan dalam berpacaran. 40
KISI-KISI UAS GANJIL PELAJARAN PKn UNTUK SMP KELAS 8 TH 2011
1. Nilai-nilai Pancasila: sebagai Dasar Negara dan Ideologi Negara, sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara:
* memahami sejarah terbentuknya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,1,2
* menyebutkan susunan Pancasila yang syah dan benar yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat,3,4
* menjelaskan Pancasila dan menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,5,6,41
* menguraikan nilai-nilai masing-masing sila dalam Pancasila,7,8
* mempraktekkan nilai-nilai masing-masing sila dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, sekolah, dan masyarakat,9,10,11,42
* menunjukkan serta menampilkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.12,13,14,43
2. Konstitusi yang berlaku di Indonesia: UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, kembali ke UUD 1945, UUD 1945 hasil Amandemen:
* memahami sejarah adanya berbagai konstitusi yang pernah ada di Indonesia,15,16
* menjelaskan berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia,17,18,44
* menganalisis penyimpangan konstitusi yang berlaku di RI,19,20
* memahami sejarah terjadinya amandemen UUD 1945 di masa pemerintahan setelah orde baru dan masa pemerintahan reformasi,21,22,23
* menunjukkan hasil amandemen UUD 1945,24,25
* menunjukkan dan menampilakan sikap positif terhadap hasil-hasil amandemen UUD 1945 dan pelaksanannya,26,27
* mewujudkan perilaku taat konstitusi dalam kehidupan sehari-hari,28
* Memahami undang-undang yang berlaku di Indonesia dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara.29
3. Ketaatan terhadap Perundang-undangan Nasional:
* memahami makna dan pentingnya peraturan perundang-undangan nasional,30,31
* mengidentifikasi tata urutan peraturan perundang-undangan nasional,32
* menyadari pentingnya menaati peraturan perundang-undangan nasional,33,34
* mendeskripsikan proses pembuatan peraturan perudang-undangan nasional,35
* mentaati peraturan perundang-undangan nasional, 36,37,45
* mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan di Indonesia,38,39
* mendeskripsikan pengertian anti korupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) anti korupsi di Indonesia.40
* memahami sejarah terbentuknya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,1,2
* menyebutkan susunan Pancasila yang syah dan benar yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat,3,4
* menjelaskan Pancasila dan menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,5,6,41
* menguraikan nilai-nilai masing-masing sila dalam Pancasila,7,8
* mempraktekkan nilai-nilai masing-masing sila dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, sekolah, dan masyarakat,9,10,11,42
* menunjukkan serta menampilkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.12,13,14,43
2. Konstitusi yang berlaku di Indonesia: UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, kembali ke UUD 1945, UUD 1945 hasil Amandemen:
* memahami sejarah adanya berbagai konstitusi yang pernah ada di Indonesia,15,16
* menjelaskan berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia,17,18,44
* menganalisis penyimpangan konstitusi yang berlaku di RI,19,20
* memahami sejarah terjadinya amandemen UUD 1945 di masa pemerintahan setelah orde baru dan masa pemerintahan reformasi,21,22,23
* menunjukkan hasil amandemen UUD 1945,24,25
* menunjukkan dan menampilakan sikap positif terhadap hasil-hasil amandemen UUD 1945 dan pelaksanannya,26,27
* mewujudkan perilaku taat konstitusi dalam kehidupan sehari-hari,28
* Memahami undang-undang yang berlaku di Indonesia dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara.29
3. Ketaatan terhadap Perundang-undangan Nasional:
* memahami makna dan pentingnya peraturan perundang-undangan nasional,30,31
* mengidentifikasi tata urutan peraturan perundang-undangan nasional,32
* menyadari pentingnya menaati peraturan perundang-undangan nasional,33,34
* mendeskripsikan proses pembuatan peraturan perudang-undangan nasional,35
* mentaati peraturan perundang-undangan nasional, 36,37,45
* mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan di Indonesia,38,39
* mendeskripsikan pengertian anti korupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) anti korupsi di Indonesia.40
Kamis, 28 Juli 2011
PANDUAN PENGEMBANGAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
I. Pendahuluan
Dalam rangka mengimplementasikan pogram pembelajaran yang sudah dituangkan di dalam silabus, guru harus menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP merupakan pegangan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas, laboratorium, dan/atau lapangan untuk setiap Kompetensi dasar. Oleh karena itu, apa yang tertuang di dalam RPP memuat hal-hal yang langsung berkait dengan aktivitas pembelajaran dalam upaya pencapaian penguasaan suatu Kompetensi Dasar.
Dalam menyusun RPP guru harus mencantumkan Standar Kompetensi yang memayungi Kompetensi Dasar yang akan disusun dalam RPP-nya. Di dalam RPP secara rinci harus dimuat Tujuan Pembelajaran,Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran, Sumber Belajar, dan Penilaian
II. Langkah-langkah Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Mencantumkan identitas
•Nama sekolah
•Mata Pelajaran
•Kelas/Semester
•Alokasi Waktu
Catatan:
RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator dikutip dari silabus yang disusun oleh satuan pendidikan
Alokasi waktu diperhitungkan untuk pencapaian satu kompetensi dasar yang bersangkutan, yang dinyatakan dalam jam pelajaran dan banyaknya pertemuan. Oleh karena itu, waktu untuk mencapai suatu kompetensi dasar dapat diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan bergantung pada karakteristik kompetensi dasarnya.
A.Standar Kompetensi
Standar Kompetensi adalah kualifikasi kemampuan peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi diambil dari Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar). Sebelum menuliskan Standar Kompetensi, penyusun terlebih dahulu mengkaji Standar Isi mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut :
a.urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau SK dan KD
b.keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran
c.keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.
B.Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar merupakan sejumlah kemampuan minimal yang harus dimiliki peserta didik dalam rangka menguasai SK mata pelajaran tertentu. Kompetensi Dasar dipilih dari yang tercantum dalam Standar Isi. Sebelum menentukan atau memilih Kompetensi Dasar, penyusun terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.Urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan Kompetensi Dasar
b.Keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran
c.Keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran
C.Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran berisi penguasaan kompetensi yang operasional yang ditargetkan/dicapai dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang operasional dari kompetensi dasar. Apabila rumusan kompetensi dasar sudah operasional, rumusan tersebutlah yang dijadikan dasar dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dapat terdiri atas sebuah tujuan atau beberapa tujuan.
D.Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran adalah materi yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran dikembangkan dengan mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus.
E.Metode Pembelajaran/Model Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih.
F.Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Untuk mencapai suatu kompetensi dasar dalam kegiatan pembelajaran harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan dalam setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan memuat unsur kegiatan :
a. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan un¬tuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b. Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran di¬lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang¬kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan un¬tuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.
G.Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat, dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional. Misalnya, sumber belajar dalam silabus dituliskan buku referens, dalam RPP harus dicantumkan judul buku teks tersebut, pengarang, dan halaman yang diacu.
H.Penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data. Dalam sajiannya dapat dituangkan dalam bentuk matrik horisontal atau vertikal. Apabila penilaian menggunakan teknik tes tertulis uraian, tes unjuk kerja, dan tugas rumah yang berupa proyek harus disertai rubrik penilaian.
III. Format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah : SMP...........................
Mata Pelajaran : ...................................
Kelas/Semester : ...................................
Alokasi Waktu : ..... x 40 menit (… pertemuan)
A.Standar Kompetensi
B.Kompetensi Dasar
C.Tujuan Pembelajaran:
Pertemuan 1
Pertemuan 2
Dst
D. Materi Pembelajaran
E. Model/Metode Pembelajaran
F. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan 1
Pertemuan 2
dst
G. Sumber Belajar
H. Penilaian
Dalam rangka mengimplementasikan pogram pembelajaran yang sudah dituangkan di dalam silabus, guru harus menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP merupakan pegangan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas, laboratorium, dan/atau lapangan untuk setiap Kompetensi dasar. Oleh karena itu, apa yang tertuang di dalam RPP memuat hal-hal yang langsung berkait dengan aktivitas pembelajaran dalam upaya pencapaian penguasaan suatu Kompetensi Dasar.
Dalam menyusun RPP guru harus mencantumkan Standar Kompetensi yang memayungi Kompetensi Dasar yang akan disusun dalam RPP-nya. Di dalam RPP secara rinci harus dimuat Tujuan Pembelajaran,Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran, Sumber Belajar, dan Penilaian
II. Langkah-langkah Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Mencantumkan identitas
•Nama sekolah
•Mata Pelajaran
•Kelas/Semester
•Alokasi Waktu
Catatan:
RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator dikutip dari silabus yang disusun oleh satuan pendidikan
Alokasi waktu diperhitungkan untuk pencapaian satu kompetensi dasar yang bersangkutan, yang dinyatakan dalam jam pelajaran dan banyaknya pertemuan. Oleh karena itu, waktu untuk mencapai suatu kompetensi dasar dapat diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan bergantung pada karakteristik kompetensi dasarnya.
A.Standar Kompetensi
Standar Kompetensi adalah kualifikasi kemampuan peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi diambil dari Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar). Sebelum menuliskan Standar Kompetensi, penyusun terlebih dahulu mengkaji Standar Isi mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut :
a.urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau SK dan KD
b.keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran
c.keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.
B.Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar merupakan sejumlah kemampuan minimal yang harus dimiliki peserta didik dalam rangka menguasai SK mata pelajaran tertentu. Kompetensi Dasar dipilih dari yang tercantum dalam Standar Isi. Sebelum menentukan atau memilih Kompetensi Dasar, penyusun terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.Urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan Kompetensi Dasar
b.Keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran
c.Keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran
C.Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran berisi penguasaan kompetensi yang operasional yang ditargetkan/dicapai dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang operasional dari kompetensi dasar. Apabila rumusan kompetensi dasar sudah operasional, rumusan tersebutlah yang dijadikan dasar dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dapat terdiri atas sebuah tujuan atau beberapa tujuan.
D.Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran adalah materi yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran dikembangkan dengan mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus.
E.Metode Pembelajaran/Model Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih.
F.Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Untuk mencapai suatu kompetensi dasar dalam kegiatan pembelajaran harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan dalam setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan memuat unsur kegiatan :
a. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan un¬tuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b. Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran di¬lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang¬kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan un¬tuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.
G.Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat, dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional. Misalnya, sumber belajar dalam silabus dituliskan buku referens, dalam RPP harus dicantumkan judul buku teks tersebut, pengarang, dan halaman yang diacu.
H.Penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data. Dalam sajiannya dapat dituangkan dalam bentuk matrik horisontal atau vertikal. Apabila penilaian menggunakan teknik tes tertulis uraian, tes unjuk kerja, dan tugas rumah yang berupa proyek harus disertai rubrik penilaian.
III. Format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah : SMP...........................
Mata Pelajaran : ...................................
Kelas/Semester : ...................................
Alokasi Waktu : ..... x 40 menit (… pertemuan)
A.Standar Kompetensi
B.Kompetensi Dasar
C.Tujuan Pembelajaran:
Pertemuan 1
Pertemuan 2
Dst
D. Materi Pembelajaran
E. Model/Metode Pembelajaran
F. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan 1
Pertemuan 2
dst
G. Sumber Belajar
H. Penilaian
Guru Sebagai Agen Pembelajaran
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan berkaitan dengan predikat guru sebagai pendidik profesional. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 (tentang sistem pendidikan nasional), Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 (tentang guru dan dosen), dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 (tentang standar nasional pendidikan).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, dasar, dan menengah. Lalu, apa saja yang dibutuhkan guru untuk dapat dikatakan profesional? Seorang guru dikatakan profesional jika memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mum atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Oleh karena itu, guru disyaratkan memenuhi kualifikasi akademik minimal sarjana S1 /D4 yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Jadi, tidak heran kalau akhir-akhir ini banyak guru yang berlomba-lomba untuk melanjutkan kuliahnya. Rita berharap bahwa inisiatif guru untuk melanjutkan kuliah bukan sekadar untuk mendapat ijazah atau sertifikasi saja, tetapi lebih kepada peningkatkan kompetensi sebagai pendidik profesional.
Selain tuntutan akademik, banyak tugas yang harus dilaksanakan oleh guru dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah peran guru sebagai agen pembelajaran. Guru sebagai agen pembelajaran berperan memfasilitasi siswa agar dapat belajar secara nyaman dan berhasil menguasai kompetensi yang sudah ditentukan. Untuk itu, guru perlu merancang agar proses pembelajaran berjalan lancar dengan hasil optimal. Nah, kompetensi apa yang harus dikuasai guru sebagai agen pembelajaran? Ada empat kompetensi pokok yang harus dikuasai guru sebagai agen pembelajaran, yaitu (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi pedagogik, (3) kompetensi profesional, dan (4) kompetensi sosial.
A. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan seseorang yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan beraklak mulia.
Guru yang telah memiliki kompetensi kepribadian seperti di atas, pasti dapat melakukan tuntutan profesi dengan baik pula. Ia akan bangga menjadi guru dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, agama, maupun sosial. Guru tersebut juga mampu menunjukkan kemandirian sebagai pendidik dan memiliki etos kerja yang tinggi. Jika ada guru yang tidak bangga terhadap profesinya, orang tersebut tidak akan maju dan berkembang.
Guru yang memiliki kepribadian mantap juga mampu melakukan kincrja yang bermanfaat bagi peserta didik, sekolah, dan masyarakat. Guru tersebut mampu menunjukkan kedewasaan dalam berfikir dan bertindak sehingga produk kinerjanya dapat dikontrol dan dievaluasi lebih lanjut.
B. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi kedua yang harus dikuasai guru sebagai pendidik profesional adalah kompetensi pedagogik. Kemampuan ini diperlukan guru untuk membimbing dan memberikan pembelajaran kepada siswa agar lebih terarah.
Kompetensi pedagogik meliputi: (1) pemahaman tcrhadap peserta didik, (2) perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, (3) evaluasi hasil belajar, dan (4) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi pedagogik yang dimiliki guru juga dapat digunakan untuk memahami peserta didik dengan baik. Bagaimana cara memahami peserta didik dengan baik? Sebagai guru profesional, kita dituntut untuk ikut membantu mengembangkan bakat atau kelebihan peserta didik secara maksimal sekaligus dapat membantu kesulitan yang ia hadapi.
Setiap peserta didik pasti mempunyai bakat yang berbeda-beda. Ada peserta didik yang berbakat dalam bidang olahraga, seperti sepak bola atau bulutangkis. Ada juga peserta didik yang berbakat dalam bidang akademik. Guru tinggal mengembangkan bakat setiap peserta didik lebih lanjut. Jika sekolah menyediakan fasilitas untuk mengembangkan bakat mereka maka guru tinggal membina atau mendatangkan pembina khusus.
Nah, bagaimana cara guru untuk ikut membantu kesulitan-kesulitan lainnya dari peserta didik? Langkah yang dapat diambil guru adalah dengan mengidentifikasi kesulitan yang sedang dihadapi peserta didik. Jika peserta didik mengalami kesulitan di bidang pelajaran maka guru dapat membantunya dengan memberikan tambahan pelajaran di luar jam sekolah.
Dengan memiliki kompetensi pedagogik yang baik, diharapkan guru dapat menyusun rancangan pembelajaran dan melaksanakannya. Guru diharapkan dapat memahami landasan pendidikan, mampu menerapkan teori bclajar, dapat menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, dan mampu menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang tepat. Untuk menghasilkan proses belajar mengajar yang maksimal, guru memang tidak cukup mengandalkan rancangan yang telah dibuatnya. Guru harus tetap mencari metode dan strategi pembelajaran yang tepat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pedagogik seorang guru harus mampu mengembangkan kompetensi dan mengaktualisasikan potensi peserta didik. Selanjutnya, guru juga akan berusaha mencari strategi untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik.
Kepemimpinan Efektif dalam Manajemen Pendidikan
Kepemimpinan dalam manajemen pendidikan merupakan faktor kunci keberhasilan suatu organisasi. Kepemimpinan merupakan inti dalam manajemen pendidikan . Maju mundurnya suatu organisasi banyak dipengaruhi oleh faktor kepemimpinannya. Kepemimpinan akan berjalan secara efektif dan efisien apabila dilaksanakan oleh seorang pemimpin yang jujur, bertanggung jawab, transparan, cerdas, memahami tugas dan kewajibannya, memahami anggotanya, mampu memotivasi, dan berbagai sifat yang baik yang terdapat dalam diri seorang pemimpin. Ia sadar bahwa pemimpin memiliki arti sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dirinya sendiri dan orang lain melalui keteladanan, nilai-nilai serta prinsip yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Seorang yang mendapat amanah sebagai eksekutif akan menunjukkan nilai-nilai moral tersebut, sehingga mereka akan memimpin berdasarkan prinsip (principle centered leadership). Toto Tasmara (2002:196) menyatakan bahwa memimpin bukan hanya mempengaruhi agar orang lain mengikuti apa yang diinginkannya. Bagi seorang muslim, memimpin berarti memberikan arah atau visi berdasarkan nilai-nilai ruhaniah. Mereka menampilkan diri sebagai teladan dan memberikan inspirasi bagi bawahannya untuk melaksanakan tugas sebagai keterpanggilan ilahi. Sehingga mereka memimpin berdasarkan visi atau mampu melihat dan menjangkau ke masa depan (visionary leadership).
Ariani (2003:95) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan proses pemberian pengaruh yang tidak memaksa. Pemimpin mempunyai pengikut yang secara sukarela melaksanakan tugas-tugasnya dengan keahlian dan intelektualnya sebagai sumber kekuasaan. Kekuasaan tersebut digunakan untuk memelihara fleksibilitas dan memperkenalkan perubahan. Mereka cenderung menyukai perubahan dan menganggap konflik adalah wajar, bahkan harus ada. Bagi pemimpin. kegagalan adalah hal yang biasa dan merupakan konsekuensi dari proses belajar. Apabila ia merasa gagal ia harus belajar dan berani mengakui kegagalannya. Pemimpin yang baik, tidak hanya mengakui kegagalan yang ia lakukan tetapi ia berusaha keras untuk memperbaiki kegagalan yang pernah dilakukannya. Pemimpin yang berhasil ia selalu berpikir, berorientasi, dan mengambil keputusan untuk jangka panjang dan bertanggung jawab. Mereka tidak memerintah dan mengendalikan pengikut, melainkan mengajak untuk melakukan yang terbaik, memberikan arahan dan kebebasan berkreasi pada pengikutnya untuk mencapai tujuan bersama.
Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan beberapa pengertian tentang kepemimpinan menurut para ahli. Wahjosumidjo (1987:10) menyatakan bahwa apabila seseorang ingin mempelajari dan memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan kepemimpinan , perlu lebih dahulu mengerti dan paham arti atau batasan istilah kepemimpinan .
Pengertian kepemimpinan yang di kutip oleh Paul Hersey and Blanchart (1977:83- 84) dalam bukunya Management Organizational Behavior adalah sebagai berikut:
1. Leadership is the activity of influencing exercised to strive willingly for group objectives (George P Terry).
2. Leadership as interpersonal influence exercised in situation an directed, through the communication process, toward the attainment of a specialized goal the goals (Robert T Irving R. Wischler, Fred Na.ssarik).
3. Leadership is influencing people to follow in the achievement of a common goal (Harold Koonte and Cyril O Donnell).
Menurut Hemhiel and Coons (1957:7) bahwa kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang akan dicapai bersama (shared goal). Sedangkan menurut Rauch and Behling (1984:46) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Jacobs and Jacques, 1990:281). Lebih lanjut ditegaskan Kouzes dan Posner (1993:11) menyatakan Leadership is a relationship, one between constituent and leader that is based in mutual needs and interest.
Sebagai hubungan antara anggota-anggota organisasi dan pemimpin, maka kepemimpinan berlangsung atas dasar adanya saling membutuhkan dan minat yang sama dalam rangka mencapai tujuan.
Wahjosumidjo (1987:11) menjelaskan bahwa butir-butir pengertian dari berbagai kepemimpinan pada hakikatnya memberikan makna:
1. Kepemimpinan adalah suatu yang melekat pada din i seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability) dan kesunggupan (capability).
2. Kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan (activity)pemimpin yang tidal( dapat dipisahkan dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
3. Kepemimpinan adalah sebagai proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin, pengikut dan situasi.
Sejalan dengan itu, kepemimpinan sebagai konsep manajemen oleh Stogdill (1974:57) dapat dirumuskan ke dalam berbagai macam deflnisi, tergantung dari mana titik tolak pemikirannya. la menyebutkan bahvva kepemimpinan adalah: (1) suatu seni untuk menciptakan kesesuaian paham, (2) suatu bentuk persuasi dan inspirasi, (3) suatu kepribadian yang mempunyai pengaruh, (4) tindakan atau perilaku, (5) titik sentral proses kegiatan kelompok, (6) hubungan kekuatanfkekuasaan, (7) sarana pencapaian tujuan, (8) suatu hasil dari interaksi, (9) peran yang dipolakan, dan (10) sebagai inisiasi (permulaan) struktur. Ada empat bidang studi kepemimpinan , yaitu traits, behavior, situasional dan power influence approach (Yuki, 1976:26).
Ada tiga pendekatan tentang studi kepemimpinan . Pertama, studi kepemimpinan yang mencoba mengadakan identifikasi berbagai sifat para pemimpin, yakni dalam usaha menjawab pertanyaan How one becomes a leader Kedua, studi kepemimpinan yang menekankan kepada berbagai perilaku pemimpin, yaitu untuk memberikan jawaban atau pertanyaan How leader behave , dan ketiga, studi kepemimpinan kontingensi, yaitu studi kepemimpinan yang hakikatnya berusaha untuk memenuhi jawaban atas pertanyaan What makes the leader effective (Wahjosumidjo, 1987:12).
Lebih lanjut Feisal (1995:284) menyatakan bahwa kepemimpinan di dalam Islam adalah suatu hal yang inheren, serta merupakan salah satu sub sistem dalam sistem Islam yang mencakup pengaturan seluruh aspek kehidupan secara principal. Islam mengatur niat-amal-tujuan sekaligus sumber kehidupan, otak manusia, kemudian mengatur proses hidup, perilaku, dan tujuan hidup. Dalam Islam seorang pemimpin dan yang dipimpin hares mempunyai keberanian untuk menegakkan kebenaran yang dilaksanakan melalui prinsip kepemimpinan , yaitu melaksanakan kewajiban kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab seorang pemimpin dan melaksnakan hak berpartisipasi bagi yang dipimpin.
Quraish Shihab (1996:159) menjelaskan bahwa Islam menyebutkan kepemimpinan dengan beberapa istilah atau nama, diantaranya imamah, ri ayah, imarah, dan wilayah, yang semuanya itu pada hakikatnya adalah amanah (tanggung jawab). Nabi SAW bersabda: Apabila amanat disia-siakan, maka nantikanlah kehancurannya. Ketika ditanya, Bgaimana menyia-nyiakannya ? Beliau menjawab: Apabila wewenang pengelolaan ( kepemimpinan ) diserahkan kepada orang yang tidak mampu.
Hendaknya sejak dini pada setiap pribadi selalu ditanamkan suatu keyakinan bahwa dirinya terlahir sebagai pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah: Setiap pribadi adalah pemimpin dan kelak akan dipertanyakan tentang kepentimpinannnya. (HR. Muslim). Menurut Quraish Shihab (1996:163) dalam al-Quran ada perintah menunaikan amanat kepada pemiliknya, disusul dengan perintah menetapkan putusan yang adil, kemudian dilanjutkan dengan perintah taat (taqwa) kepada Allah, rasul dan ulil amri.
Memahami pengertian kepemimpinan dari sudut pandang para pakar akan memberikan gambaran bahwa kepemimpinan merupakan suatu peran yang sangat penting dalam manajemen pendidikan . Berbagai pengertian, konsep, teori dan praktik kepemimpinan dalam manajemen pendidikan bertujuan agar pendidikan dapat mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan masyarakat terhadap mute pendidikan menuntut kepemimpinan yang efektif . Tantangan bagi seorang pemimpin pendidikan adalah bagaimana is mampu berperan secara efektif dalam mendorong dan pelopor perubahan organisasi menuju organisasi yang bennutu. Upaya memperbaiki mutu dalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh mutu kepemimpinan dan manajemen yang efektif . Dukungan dari anggota hanya akan muncul secara berkelanjutan ketika pimpinannya benar-benar bermutu atau unggul. Dalam buku Technology in Educational Change karangan David F. Salisbury (1996:149) menyatakan -Without quality leadership and skillful management, even the ideas are never implemented. Without good management and on going support for their leaders, those lower in the organization become disillusioned in time, cease to continue the change effort.
Peran kepemimpinan penting sekali dalam mengejar mutu yang diinginkan pada setiap sekolah. Sekolah hanya akan maju bila dipimpin oleh kepala sekolah yang visioner, memiliki keterampilan manajerial, sena integritas kepribadian dalam melaksanakan perbaikan mutu. Kepemimpinan kepala sekolah tentu menjalankan manajemen sesuai dengan iklim organisasinya (Syafaruddin, 2002:50).
Kepala sekolah akan dapat memainkan perannya dengan efektif apabila memahami budaya sekolah yang dipimpinnya. Perubahan budaya yang berorientasi kepada mutu hams dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus memainkan kepemimpinan yang demokratis, transparan, jujur, bertanggung jawab, menghargai guru dan staf, bersikap adil, dan sikap terpuji lainnya yang tertanam dalam diri dan dirasakan oleh warga sekolahnya. Kepala sekolah terbuka menerima kritik dan masukan dari guru, staf TU, para siswa dan orang tua tentang budaya yang berkembang di sekolah.
Budaya sekolah ini berkaitan dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun budaya sekolah. Zamroni (2000:152) menegaskan bahwa untuk membangun visi sekolah ini, diperlukan kolaborasi antara kepala sekolah, guru, orang tua, staf administrasi dan tenaga professional. Budaya sekolah akan baik apabila: (a) kepala sekolah dapat berperan sebagai model, (b) mampu membangun tim kerjasama, (c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan (d) memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami pennasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam tnenjaga dan memberikan lingkungan yang kodusif bagi berlangsungnya proses tumbuhkembangnya budaya mutu di sekolah.
Kepemimpinan mutu pendidikan akan mampu menggerakkan organisasi agar program dan tujuan yang telah ditetapkan bersama dapat tercapai. Demikian pula dengan gerakan mutu (quality movement) pada lembaga pendidikan atau menumbuh kembangkan budaya mutu (quality culture) harus ditopang oleh peran kepemimpinan yang bermutu. Sallis (1993:86) menyatakan bahwa -Leadership is the esensial ingredient in TQM. Leader must have the vision and he able to translate it into clear policies and aspesific goals.
Pustaka: Ilmu dan aplikasi pendidikan
Landasan Antropologi Pendidikan
Ilmu pendidikan yang sering juga disebut dengan pedagogi atau pedagogika merupakan suatu disipl in ilmu yang terkait dengan proses pemberadaban, pemberbudayaan, dan pendewasaan manusia. Dalam konteks ini pendidikan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi integratif, egalitarian, dan pengembangan. Kehidupan sebagai suatu bangsa yang bersifat integratif, egalitarian, dan berkembang secara optimal merupakan ciri dari masyarakat yang anggotanya bersikap dewasa, yang beradab dan berbudaya.
Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu bangsa. Melalui pendidikan setiap peserta didik difasilitasi, dibimbing dan dibina untuk menjadi warganegara yang menyadari dan merealisasikan hak dan kewajibannya. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara ini apabila dimiliki secara kolektif akan mempersatukan mereka menjadi suatu bangsa.
Pendidikan juga merupakan alat yang ampuh untuk menjadikan setiap peserta didik dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Melalui pendidikan dapat dihilangkan rasa perbedaan kelas dan kasta, karena di mata hukum setiap warga negara adalah sama dan hams memperoleh perlakuan yang sama. Pendidikan juga dapat menjadi wahana baik bagi negara untuk membangun sumber daya manusia yang diperlukan dalam pembanginan juga bagi setiap peserta didik untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Ketiga fungsi pendidikan ini harus menjadi acuan dan pegangan dalam melaksanakan pendidikan secara nasional. Ini sejalan dengan apa telah yang digarikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan dimaksudkan sebagai usaha sadar dan terrencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Salah satu organisasi dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, yaitu United Nation Educational, Scientific, and cultural Organizatiion (UNESCO) merekomendasikan empat pilar pendidikan. Keempat pilar itu adalah 1) learning to know 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4 ) learning to live together. Berdasarkan ini, pendidikan seharusnya memberikan kepada peserta didik bekal-bekal ilmu pengetahuan sebagai pilar pertamanya, memberikan bekal-bekal kemampuan atau ketrampilan sebagai pilar kedua, memberikan bekal kemampuan untuk mengembangkan diri sebagai pilar ketiga, dan memberikan bekal-bekal kemampuan untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk sebagai pilar keempat.
Ini berarti, melalui pendidikan seharusnya terjadi proses belajar (dalam arti luas) untuk memperoleh pengetahuan dan kecakapan yang diperlukan dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, untuk pengembangan diri sesuai dengan potensi yang diiniliki, dan kemampuan untuk hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk. Dalam upaya mewujudkan keempat pilar ini proses pendidikan tidak boleh disederhanakan menjadi hanya proses pengajaran, melainkan sebagai suatu proses yang kompleks, komprehensif, berjangka (relatif) panjang. Untuk itu setiap orang yang terlibat dalam pendidikan harus memahami ilmu pendidikan dan aplikasinya.
Dalam perspektif ilmu pengetahuan, memperhatikan karya Aristoteles tentang tiga jenis kelompok ilmu dan uraian Al-Farabi serta Ibnu Sina tentang perlunya pembatasan spesialisasi ilmu agar tidak terlalu sempit dan spesifik, patut dicatat bahwa pembedaan secara tajam antara ilmu murni-teoretik sebagai ilmu dasar dan ilmu terapan-praktis tidak perlu tegas berlaku dalam ilmu pendidikan. Hal ini disebabkan oleh:
Pertama, ilmu pendidikan khususnya pedagogik teorites termasuk kategori atau kelompok ilmu praktis atau ilmu pengetahuan praktis mengingat lapangan objeknya termasuk kemungkinan perbuatan atau tindakan mendidik. Jadi ilmu pendidikan teoretik bukanlah jenis ilmu teoretik mumi ataupun terapannya (aplikatif).
Kedua, ilmu pendidikan adalah ilmu normatif sekalipun tidak bersifat preskriptif seperti sebagian dan filsafat pendidikan. Oleh karena itu ilmu pendidikan teoretik termasuk ilmu pendidikan empirik juga bersifat normatif. Studi fundasi psikologis pendidikan (psychological foundation of sociology) juga berciri normatif dan tidak sekedar mendeskripsikan hubungan-hubungan antara variabel —variabel pada terdidik ataupun guru.
Ketiga, ilmu pendidikan adalah ilmu empirik yang mencakup ilmu pendidikan empirik dan analisis materi situasi pendidikan sebagai gejala interrelasi dan humanisasi empirik. Gejala pendidikan yang dianalisis ilmu pendidikan bukanlah gejala abstrak yang formal ataupun simbolik belaka.
Keempat, ilmu pendidikan yang mempelajari fungsi materil dari pengetahuan dan nilai-nilai sebagai dunia makna dalam pendidikan menyebabkan lebih baik dimasukkan ke dalam kategori terpadu ilmu kemanusiaan (humaniora). Ilmu pendidikan yang cenderung menganalisis objeknya secara holistik berdekatan dengan ilmu-ilmu kehidupan atau perilaku (life on behavioral sciences) bukanlah sejenis ilmu kealaman (IPA). Ilmu pendidikan juga bersifat parsial mengenai hakekat dan perilaku manusia.
Disiplin ilmu pendidikan dengan obyek utama pengkajiannya adalah prilaku manusia berakar dari filsafat dan ditunjang oleh disiplin-displin ilmu pengetahuan lain, di antaranya adalah psikologi, antropologi, sosiologi, dan berbagai cabang dari ilmu-ilmu prilaku lain. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perluasan lapangan ilmu pendidikan menjadi ilmu pendidikan praktis, sehingga terjadi dikhotomi antara ilmu pendidikan teoretis dan ilmu pendidikan praktis.
Dalam ilmu pendidikan teoretis, fokus pengkajian utama adalah pada filsafat, teori, dan konsep-konsep dasar yang terkait dengan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah yang terkait dengan teori-teori berbagai cabang ilmu lain yang digunakan dalam pendidikan. Adapun ilmu pendidikan praktis lebih terfokus pada pelaksanaan atau praktik pendidikan dalam berbagai konteks.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di Indonesia, perkembangan ilmu pendidikan praktis cenderung lebih menonjol dan perkembangannya lebih pesat. Dengan masuknya para pakar non-kependidikan ke dalam bidang pendidikan telah berkembang pula pendidikan disiplin ilmu dan pendidikan limas bidang sebagai penerapan atau aplikasi pendidikan ke dalam bidang disiplin ilmu lain sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan terhadap penerapan bidang-bidang ilmu itu.
Sementara itu, terjadi juga kecenderungan para pembelajar ilmu pendidikan lebih mem inati ilmu pendidikan praktis dibandingkan dengan ilmu pendidikan teoretis. Ini semua di satu sisi berdampak positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan secara umum, namun di sisi lain berdampak pada makin berkurangnya pakar terkait dengan ilmu pendidikan teoretis, apalagi filsafat pendidikan, sehingga di berbagai lembaga pendidikan tinggi penyelenggara pendidikan tenaga kependidikan makin sulit dicari pakar ilmu pendidikan teoretis
Untuk memperkecil berbagai ekses yang tidak diinginkan sekaitan dengan kecenderungan seperti dipaparkan di atas maka disusun suatu buku yang membahas secara komprehensifdan terpadu tentang ilmu dan aplikasi pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar disiplin ilmu pendidikan dapat dipahami secara utuh, dan untuk mencapai maksud tersebuLdalam buku ini dibuat kerangka Ilmu dan Aplikasi Pendidikan dengan mengelompokkan kajiannya ke dalam empat kelompok besar. Keempat kelompok kajian itu adalah:
1) Pendidikan Teoretis
2) Pendidikan Praktis
3) Pendidikan Disiplin Ilmu
4) Pendidikan Lintas Bidang
Pendidikan Teoretis memfokuskan kajian pada landasan-landasan konseptual dan teoretik secara universal serta berbagai teori yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan itu sendiri dengan menyelidiki, menata secara sistematis akan fungsi dan tugas ilmu pendidikan serta teori pendidikan secara khusus. Pengkajian pendidikan teoretis meliputi: 1) filsafat pendidikan, 2) pedagogik teoretis, 3) teori mengajar, 4) teori kurikulum, 5) teori evaluasi pendidikan, 6) teori psikologi pendidikan 7) teori administrasi pendidikan, 8) teori konseling pendidikan, 9) teori sosiologi pendidikan, 10) teori antropologi pendidikan, 11) teori andragogi, dan 12) teori penelitian pendidikan.
Pendidikan Praktis memfokuskan kajian pada aplikasi teori pendidikan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Pengkajian pendidikan praktis ini meliputi: 1) andragogi praktis, 2) pendidikan nonfonnal, 3) pedaogik anak berkebutuhan khusus, 4) bimbingan dan konseling 5) kurikulum dan pembelajaran, 6) pengembangan kurikulum sekolah, 7) pengajaran, 8) teknologi pendidikan, 9) sumber belajar dalam pendidikan, 10) manajemen pendidikan, 11) penilaian pendidikan berbasis kolas, 12) ekonomi pendidikan 13) politik pendidikan, 14) penilaian dirt dalam pendidikan, 15) penjaminan mutu pendidikan.
Pendidikan Disiplin Ilmu merupakan aplikasi ilmu pendidikan dal= pembelajaran berbagai cabang ilmu pengetahuan atau mata pelajaran. Pendidikan disiplin ilmu ini meliputi: 1) pendidikan agama, 2) pendidikan akhlak, 3) pendidikan nilai, 4) pendidikan bahasa, 5) pendidikan bahas asing, 6) pendidikan kewarganegaraan, 7) pendidikan matematika 8) pendidikan sains, 9) pendidikan fisika, 10) pendidikan kimia, 11) pendidikan biologi, 12) pendidikan ilmu pengetauan sosial, 13) pendidikan ekonomi, 14) pendidikan bisnis, 15) pendidikan ilmu sejarah, 16) pendidikan geografi, 17) pendidikan lingkungan hidup, 18) pendidikan sent, dan 19) pendidikan olahraga.
Adapun pendidikan lintas bidang memfokuskan kajian pada konteks penerapan ilmu pendidikan itu sendiri. Kajian pendidikan lintas bidang ini di antaranya meliputi: 1) pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, 2) pendidikan multibudaya, 3) pendidikan keluarga, 4) pendidikan anak usia dini, 5) pendidikan dasar dan menengah 6) pendidikan usia lanjut, 7) pendidikan anak berbakat, 8) pendidikan wanita, 9) pendidikan kesejahteran keluarga, 10) pendidikan umum, 11) pendidikan kesehatan, 12) pendidikan seks, 13) pendidikan berbasis unggulan lokal, 14) pendidikan kecakapan hidup, 15) pendidikan teknologi dan kejuruan, 16) pendidikan profesi, 17) pendidikan kedinasan, 18) pendidikan pesantren, 19) pendidikan dan pelatihan, 20) pendidikan jarak jauh, dan 21) pendidikan dunia maya.
Dengan kerangka ilmu dan aplikasi pendidikan seperti dipaparkan di atas, kita diharapkan dapat memahami ilmu pendidikan secara utuh dalam arti komprehensif dan terpadu. Keutuhan itu tercermin dari pembahasannya, yang didalamnya meliputi pembahasan tentang ilmu pendidikan secara teoretis yang menjadi dasar pijakan dalam praktik dan pelaksanaan pendidikan, dan ilmu pendidikan praktis yang mengkaji berbagai penerapan ilmu pendidikan, baik dalam pelaksanaanya itu sendiri, penerapannya dalam pembelajaran berbagai disiplin ilmu pengetahuan, maupun penerapannya dalam berbagai konteks yang bersifat lintas bidang.
Dengan pemahaman yang utuh tentang ilmu dan aplikasi pendidikan seperti ini diharapkan para praktisi, pengambil kebijakan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan selain dapat memperoleh pegangan yang kokoh dalam melaksanakan, mengambil kebijakan maupun dalam menunjukkan kepedulaiannya terhadap pendidikan, tetapi juga tidak menyederhanakan persoalan-persoalan pendidikan menjadi hanya sekadar terkait dengan proses pembelajaran atau segmen-segmen kecil yang dapat dikenali oleh masyarakat pada umumnya dalam praktik. Dengan demikian bidang pendidikan ditempatkan secara tepat dan penangannya dilakukan secara profesional.
Pustaka
ILMU DAN APLIKASI PENDIDIKAN Bagian I: Ilmu Pendidikan Teoretis
Sistem Pendidikan di Indonesia
Dalam rangka untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia maka diselenggarakanlah suatu sistem pendidikan nasional. Negara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Dengan pendidikan dan pengajaran itu diharapkan akan memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar sebagai bekal untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemampuan dasar yang dimaksud adalah kemampuan membaca, menulis dan berhitung, serta menggunakan Bahasa Indonesia.
Pendidikan Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun, diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satuan pendidikan yang sederajat. Pada jalur luar sekolah, pemerintah menyediakan program paket A dan paket B (setara SLTP) bagi anak usia sekolah yang orang tuanya tidak mampu membiayai untuk masuk SD ataupun SLTP.
Pendidikan Dasar diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Oleh karena itu, pendidikan memerlukan penanganan yang sangat serius, khususnya pemerintah yang memiliki otoritas anggaran. Melalui tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah harus berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakat dan kebangsaan.
Permasalahan di dunia pendidikan memang sangat kompleks. Bahkan dikatakan, dunia pendidikan di negeri ini seperti benang kusut yang sulit memulainya dari mana. Di antara permasalahan tersebut adalah kualitas pendidikan yang rendah yang mengakibatkan matinya kreativitas anak didik pasca sekolah dan jatuhnya rasa percaya diri siswa didik ketika menghadapi dunia kerja yang keras. Lulusan sekolah sering kali justru menjadi anak cengeng dengan sifat ABG-nya yang kental, dan semakin jauh dari realitas masyarakat di sekitarnya. Di samping persoalan mendasar tersebut, masalah lain yang mengemuka adalah relatif rendahnya kesejahteraan guru, minimnya sarana Pendidikan Dasar, dan terbatasnya biaya operasional pendidikan. Hal ini harus dicarikan solusinya, meskipun dilakukan secara bertahap.
Mengapa Pendidikan Dasar mendapat tekanan khusus dibandingkan jenjang pendidikan lain? Karena menurut para pakar pendidikan adalah Pendidikan Dasar ini yang paling parah. Sarananya saja paling banyak rusak dibandingkan SLTP dan SLTA. Belum lagi menyangkut masalah pelaksanaan proses belajarnya. Dengan telah disahkannya undang-undang pendidikan nasional, kita berharap agar dana sebesar 20% dari APBN benar-benar direalisasikan dan diberikan untuk dunia pendidikan di negeri ini. Sering kali dana pendidikan tersebut dialokasikan ke birokrasi dan seremonial pendidikan yang kurang bermanfaat. Kita mengharapkan agar birokrasi pendidikan lebih dapat memanfaatkan anggaran pendidikan negara dengan efektif
efisien sehingga menyentuh kebutuhan riil anak didik.
Pustaka
Pendidikan berwawasan kebangsaan: kesadaran ilmiah berbasis multikulturalisme - M. Nasruddin Anshoriy Ch, Pembayun (G. K. R.)
Integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam PAKEM
Information and Communications Technologies (ICT) atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah alat-alat seperti radio, televisi, handphone dan komputer. Dalam buku ini, kita membatasi “teknologi” untuk hanya meliputi komputer dan alat multimedia (kamera digital, handycam dan intemet). Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah mengubah cara belajar di ruang-ruang kelas di setiap negara di dunia. Saat ini para guru telah menggunakan teknologi untuk mem-bantu mereka menghadapi tantangan yang diberikan oleh perubahan.
Pemanfaatan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia seringkali hanya digunakan untuk membantu kegiatan administrasi di sekolah saja, tak ubahnya menggantikan mesin ketik konvensional. Bahkan banyak pula sekolah-sekolah maju, yang memiliki laboratorium komputer dengan jumlah komputer yang memadai, hanya memanfaatkan perangkat TIK yang ada untuk mengajarkan keterampilan teknologi informasi saja seperti pelatihan Internet, perangkat perkantoran kepada para siswanya, tak ubahnya seperti kelas kursus komputer pada umumnya.
Seharusnya perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk meningkatkan kualitas pem-belajaran di ruang kelas dengan cara mengintegrasikannya ke dalam kurikulum yang ada. Penggunaan teknologi berbeda dengan maksud dari Integrasi Teknologi. Kegiatan mengajarkan penggunaan teknologi seperti kegiatan di atas, sangat berbeda dengan kegiatan Integrasi Teknologi dalam kegiatan pembelajaran. Integrasi teknologi adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam wilayah konten secara umum dalam pendidikan untuk memungkinkan mereka belajar keterampilan komputer dan teknologi. Secara umum, kurikulumlah yang mengendalikan penggunaan teknologi, bukan sebaliknya (Edutopia, 2008).
The International Society for Technology in Education (ISTE) telah membuat standar teknologi untuk siswa, guru dan pengelola kelas dasar (K-12) di Amerika. ISTE, merupakan pemimpin dalam membantu guru-guru di sana menjadi pengguna teknologi yang efektif, mereka berpendapat bahwa “Integrasi kurikulum dengan pemanfaatan teknologi melibatkan infusi dari teknologi sebagai perangkat untuk meningkatkan pembelajaran dalam sebuah wilayah konten atau dalam setting multi-disiplin. Integrasi teknologi yang efektif akan tercapai ketika siswa mampu untuk memilih perangkat teknologi untuk membantu mereka memperoleh informasi dengan cara yang tepat, melakukan analisa dan sintesa informasi, serta menyajikannya secara profesional. Teknologi harus menjadi sebuah bagian integral dari fungsi kelas seperti perangkat pengajaran lain yang mudah untuk diakses. Fokusnya adalah pada setiap pelajaran, bukan teknologinya (NETS, 2007).
Konstruktivisme merupakan komponen terpenting dari integrasi teknologi. Konstruktivisme merupakan suatu pandangan mengenai bagaimana seorang belajar, yaitu menjelaskan bagaimana manusia membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitamya melalui pengenalan terhadap benda-benda di sekitarnya yang direfleksikan melalui pengalamannya (Piaget, 1967). Untuk mengimplementasikan konstruktivisme di dalam kelas, guru harus berkeyakinan bahwa peserta didik ketika datang ke kelas otaknya tidak kosong dengan pengetahuan. Mereka datang ke dalam situasi belajar dengan pengetahuan, gagasan, dan pemahaman yang sudah ada dalam pikiran mereka. Jika sesuai, pengetahuan awal inilah yang merupakan materi dasar untuk pengetahuan baru yang akan mereka kembangkan.
Prinsip-prinsip konstruktivisme adalah:
1. Siswa membawa pengetahuan awal yang khas dan keyakinan-keyakinan pada situasi pembelajaran.
2. Pengetahuan dibangun secara unik dan individu/personal, dalam berbagai cara, lewat berbagai perangkat, sumbersumber, dan konteks.
3. Belajar merupakan proses yang aktif dan reflektif.
4. Belajar adalah proses membangun. Kita dapat mempertimbangkan keyakinan dengan mengasimilasi, mengakomodasi, atau bahkan menolak informasi baru.
5. Interaksi sosial mengenalkan perspektif ganda pada pembelajaran.
6. Belajar dikendalikan secara internal dan dimediasi oleh siswa.
Dalam kelas konstruktivisme para siswa adalah bintang dalam kelaskelas mereka yang berpusat pada siswa (learner/student centered). Mereka mengungkap pengetahuan dan informasi pengalaman masa lalu, dari apa yang mereka dengar dan diskusikan. Pemahaman yang mereka peroleh sebelumnya adalah fondasi dari pembelajaran dalam kelas. Seperti detektif yang memecahkan misteri kriminalitas, para siswa bertanggung jawab atas pemecahan masalah-masalah dalam pelajaran. Para detektif memulai dad apa yang mereka ketahui dari berbagai sumber — sidik jari, bukti-bukti DNA, dan saksi-saksi mata. Seperti itu pulalah siswa temyata dalam kehidupan mereka sehari-hari telah melakukan riset (informal maupun formal) dari berbagai sumber — artikel koran, wawancara dengan para ahli, buku, dan video — untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti seorang detektif yang memerlukan lebih dari satu barang bukti untuk memecahkan kejahatan, para siswa dapat menggunakan beragam sarana (komputer, teks (buku), informasi dari wawancara) sebagai pendekatan terhadap masalah pembelajaran. Seperti seorang detektif (reserse) dari kepolisian yang bekerja dalam tim, siswa membutuhkan kolega dan mentor atau supervisor untuk berdiskusi, melakukan refleksi, dan berkonfrontasi untuk membantu mereka bekerja mencapai solusi.
Kalau siswa berperan sebagai detektif yang serba bisa, maka apa yang dilakukan para guru? Pendeknya, guru berperan sebagai pemimpin dalam pembelajaran kelas. Guru tidaklah memberikan seluruh jawaban atau mengendalikan materi, tetapi guru menetapkan struktur yang mendorong eksplorasi siswa. Struktur ini meliputi pengaturan kelas (setting), pencapaian tujuan kurikulum, mengases apakah proses belajar telah terjadi di antara siswa, mengelola aktivitas kelas yang seimbang untuk mengakomodasi keterampilan-keterampilan siswa, dan menciptakan nuansa eksploratif di awal kegiatan sehingga siswa termotivasi untuk memenuhi tugasnya. Guru-guru dalam kelas seperti ini bergantung pada keterampilan bertanya yang balk, memonitor diskusi siswa, dan menetapkan peraturan yang memberi peluang bagi siswa untuk terlibat dalam percakapan dan kolaborasi. Mereka memberi contoh/model dalam berlogika dan melakukan proses berpikir, mengidentifikasi dan mengungkapkan kembali pemahaman dan keyakinan siswa, mendukung dialog antara guru dengan siswa dan antar-siswa, serta memberi umpan balik.
Pustaka
Pakematik: Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis TIK
Pengertian CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)
Pengertian CBSA
Pengertian CBSA dapat kita telusuri dalam kegiatan belajar-mengajar. Pemahaman terhadap mengajar ditentukan oleh persepsi guru terhadap belajar. Kalau belajar dianggap sebagai usaha untuk memperoleh informasi,maka mengajar adalah memberi informasi. Kalau belajar adalah untuk memperoleh suatu keterampilan,maka mengajar adalah melatih keterampilan. Konsep belajar-mengajar dalam pemahaman seperti itu kurang mendapat tempat bagi CBSA. Seperti telah disebutkan sebelumnya,peserta didik merupakan seorang peneliti yang mengamati lingkungan sekitarnya. Belajar dalam pengertian CBSA ini adalah kegiatan untuk mengolah informasi. Dengan demikian,mengajar adalah usaha untuk mengoptimalkan kegiatan belajar.
Belajar adalah seperangkat kegiatan, terutama kegiatan mental intelektual, mulai dan kegiatan yang paling sederhana sampai kegiatan yang rumit. Pada tahap pertama, kegiatan ini tampak seperti kegiatan fisik dalam arti kegiatan melihat, mendengar, meraba, dengan alat-alat indera manusia. Kegiatan ini dilakukan untuk melakukan kontak dengan stimulus atau bahan yang dipelajari. Akan tetapi, kegiatan belajar tidak terhenti sampai di sini. Proses melihat tidak terhenti pada lensa mata, kegiatan mendengar tidak terhenti pada telinga, tetapi diteruskan pada struktur kognitif orang yang bersangkutan.
Kegiatan mental intelektual seperti ini disebut akomodasi kognitif. Mengamati dan tidak terbatas hanya melihat, memperhatikan dan tidak hanya terbatas pada mendengar, merasakan, dan sebagainya, adalah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ini. Akomodasi kognitif ini bisa gagal jika temuan baru yang diakomodasikan itu terasa asing bagi stok kognitif yang telah ada. Karena itu, proses akomodasi ini sangat tergantung pada apa yang telah dimiliki sebelumnya.
Kegiatan belajar tidak terbatas hanya sampai pada akomodasi kognitif. Temuan baru yang sudah diakomodasikan ke dalam stok kognitif akan mengintegrasikan dirinya dengan stok kognitif yang telah ada. Stok kognitif seseorang mempunyai struktur tersendiri. Jika kita menyebut istilah sekolah misalnya, dan meminta kepada siswa untuk menulis satu kata yang ada hubungannya dengan istilah sekolah itu, maka akan kita temukan berbagai macam kata yang mereka tulis. Ada yang menulis belajar, ada yang menulis guru, ada yang menulis siswa, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan struktur kognitif yang berbeda-beda yang tampak dalam metode mengklasifikasikan yang berbeda-beda pula. Kegiatan intelektual untuk mengintegrasikan temuan baru ke dalam struktur kognitif ini disebut proses asimilasi kognitif. Kegiatan-kegiatan ini antara lain menguji, mencocokkan, menyesuaikan, mempergunakan, dan sebagainya termasuk dalam kegiatan mental intelektual dalam pengertian CBSA – cara belajar siswa aktif. Dengan demikian, istilah aktif dalam konsep CBSA adalah aktivitas mental intelektual yang ada dalam proses akomodasi dan asimilasi kognitif.
Belajar adalah aktivitas manusia di mana semua potensi manusia dikerahkan. Kegiatan ini tidak terbatas hanya pada kegiatan mental intelektual, tetapi juga melibatkan kemampuan-kemampuan yang bersifat emosional bahkan tidak jarang melibatkan kemampuan fisik. Rasa senang atau tidak senang, tertarik atau tidak tertarik, simpati atau antipati, adalah dimensi-dimensi emosional yang turut terlibat dalam proses belajar itu. “Membenci kejahatan dan mencintai perdamaian” tidak hanya dipahami secara intelektual, tetapi juga dihayati secara emosional.
Kegiatan fisik, seperti menulis, mengatur, meragakan, dan sebagainya juga turut terlibat. Belajar menyetir, membuat bangunan, mengetik adalah contoh-contoh bahwa aktivitas fisik itu mempunyai peranan penting. Semua kegiatan inilah yang dimaksud dengan istilah aktif dalam CBSA, sehingga pengertian CBSA adalah cara mengajar dengan melibatkan aktivitas siswa secara maksimal dalam proses belajar baik kegiatan mental intelektual, kegiatan emosional, maupun kegiatan fisik secara terpadu.
Menurut Conny Semiawan, dalam CBSA selalu dihadapkan kepada isi atau pesan yang terarah pada tujuan tertentu. Karena itu, menurut beliau “CBSA yang dipraktikkan adalah cara belajar siswa aktif yang mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan. Keterampilan memproseskan perolehan pada siswa meliputi keterampilan-keterampilan: mengamati atau mengobservasi, membuat hipotesis, merencanakan penelitian, mengendalikan variabel, menafsirkan data, menyusun kesimpulan, membuat prediksi, menerapkan, dan mengkomunikasikan.
Mengajar dalam pendekatan seperti ini berarti menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan semua kemampuan siswa dapat dikembangkan dalam proses belajar. Komponen-komponen dari sistem itu disusun sedemikian sehingga aktivitas siswa dapat dikerahkan secara maksimal dengan arah yang tepat. Antara lain, materi disajikan secara merangsang, kemampuan siswa diperhitungkan, guru yang berfungsi sebagai motivator, organisator, pengarah, dan media pengajaran yang cukup komunikatif. Di dalam sistem yang demikian siswa memperoleh pengalaman belajar dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Siswa live-in di dalam proses belajar-mengajar sehingga mereka menikmati pengalaman belajar itu dengan asyik. Keasyikan dalam pengalaman belajar membuat pengalaman belajar tidak terikat pada ruang dan waktu. Siswa tidak lagi merasa terkurung di dalam ruang kelas yang dibatasi oleh tembok karena imajinasi mereka menembus batas-batas itu. Begitu juga mereka tidak merasa dibatasi oleh waktu yang tersedia. Waktu 90 menit bertatap muka dalam kelas dirasakan seperti hanya lima menit.
2. Kegiatan belajar berjalan secara antusias. Keinginan mengetahui, mencari disertai dengan keyakinan pada dini sendiri berkembang di dalam proses belajar itu sendiri.
3. Ada rasa kepenasaran diikuti dengan sikap on the task. Pengalaman belajar yang telah dikembangkan di dalam kelas akan diteruskan di luar kelas, baik dalam arti pengalaman belajar terstruktur maupun pengalaman belajar mandiri. Sama halnya dengan seorang penggemar musik yang menikmati rangkaian nada suara gitar. Jiwanya seolah-olah terpadu bersama dengan nada gitar yang digemarinya. Ia dibawa terbang tinggi oleh nada tinggi dan dihempaskan oleh nada-nada rendah. Tetapi tiba-tiba gitar berhenti sebelum nyanyiannya selesai. Si penggemar yang menikmatinya menjadi kecewa, dan sekaligus penasaran untuk mencari nada gitar yang terputus. Kalau hal ini disejajarkan dengan belajar, maka ketertarikan siswa pada pelajaran sangat tergantung pada guru sebagai aktornya. Pelajaran itu tidak selesai di dalam kelas, dan hal itu menimbulkan kepenasaran siswa untuk mencari lanjutannya di perpustakaan atau di mana saja sumber yang dapat mereka temukan.
Ciri-ciri tersebut menunjukkan adanya keterlibatan siswa secara mental-intelektual-emosional-fisik dalam proses belajar, baik di dalam kelas maupun pada kegiatan terstruktur dan mandiri. Khusus di dalam proses belajar-mengajar di kelas, kadar CBSA dapat diamati melalui tujuh indikator dari Mckeachi sebagai berikut.
1. Tingkat partisipasi siswa dalam menentukan tujuan kegiatan belajar-mengajar.
2. Pemberian tekanan pada afektif.
3. Tingkat partisipasi siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
4. Penerimaan guru terhadap perbuatan atau kontribusi siswa yang kurang relevan.
5. Derajat kohesivitas kelas sebagai kelompok.
6. Peluang yang ada bagi siswa untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan sekolah.
7. Jumlah waktu yang digunakan oleh guru dalam menangani masalah pribadi siswa.
Untuk menciptakan kondisi belajar seperti itu perlu diperhatikan beberapa syarat. Conny Semiawan mengemukakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam usaha menciptakan kondisi belajar supaya siswa dapat mengoptimalkan aktivitasnya dalam proses belajar-mengajar. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. Prinsip motivasi, di mana guru berperan sebagai motivator yang merangsang dan membangkitkan motif-motif yang positif dari siswa dalam proses belajar-mengajar.
2. Prinsip latar atau konteks, yaitu prinsip keterhubungan bahan baru dengan apa yang telah diperoleh siswa sebelumnya. Dengan perolehan yang ada inilah siswa dapat memproses bahan baru.
3. Prinsip keterarahan, yaitu adanya pola pengajaran yang menghubung-hubungkan seluruh aspek pengajaran.
4. Prinsip belajar sambil bekerja, yaitu mengintegrasikan pengalaman dengan kegiatan fisik dan pengalaman dengan kegiatan intelektual.
5. Prinsip perbedaan perorangan, yaitu kenyataan bahwa ada perbedaan-perbedaan tertentu di antara setiap siswa, sehingga mereka tidak diperlakukan secara klasikal.
6. Prinsip menemukan, yaitu membiarkan sendiri siswa menemukan informasi yang dibutuhkan dengan pengarahan seperlunya dari guru.
7. Prinsip pemecahan masalah, yaitu mengarahkan siswa untuk peka pada masalah dan mempunyai keterampilan untuk mampu menyelesaikannya.
Pustaka Artikel Pengertian CBSA
Strategi Belajar Mengajar (Cover Baru) Oleh W Gulo
Peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi kehidupan manusia
Dalam perkembangannya, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memiliki peran penting bagi kehidupan manusia. Selain mempercepat komunikasi, TIK juga memudahkan manusia dalam menyelesaikan urusannya.
Berikut ini peranan TIK dalam berbagai bidang kehidupan manusia:
1. Bidang Penerbangan
a. Mengatur jadwal penerbangan (flight scheduling).
b. Mengatur perubahan jadwal terbang secara mendadak (itinerary change).
c. Mengatur sistem penjualan tiket dan reservasi penerbangan (real time reservation).
d. Mengatur sistem komunikasi kepada pilot-pilot pesawat mengenai apa yang harus dilakukan (flight progress checks).
2. Bidang Perbankan
a. Mengatur pelayanan rekening kepada nasabah.
b. Menyediakan mesin teller otomatis atau anjungan tunai mandiri (ATM). Dengan perangkat ini, pihak bank dapat memberikan kemudahan kepada nasabah untuk melakukan transaksi walaupun pada saat libur.
3. Bidang Perdagangan
a. Menyediakan sistem jaringan yang terkoneksi melalui alat bantu scanner (pemindai).
b. Menyediakan alat bantu konsumen untuk melakukan pengecekan harga.
4. Bidang Perkantoran
a. Menyediakan mesin penjawab telepon secara otomatis.
b. Menyediakan alat pengolah kata dengan mesin komunikasi berupa teleks dan faksimile.
5. Rumah Masa Depan
Peranan TIK dalam rumah masa depan yang berdasar pada home automation adalah ketersediaan alat pemantau bahaya yang dapat memberitahukan pencurian, kebakaran, dan kebocoran gas. Alat ini berfungsi secara otomatis dan diperintah lewat saluran telepon.
Pustaka
Jago Teknologi Informasi & Komusikasi SMP Oleh Fauziah, S. Kom, Msi
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, dasar, dan menengah. Lalu, apa saja yang dibutuhkan guru untuk dapat dikatakan profesional? Seorang guru dikatakan profesional jika memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mum atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Oleh karena itu, guru disyaratkan memenuhi kualifikasi akademik minimal sarjana S1 /D4 yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Jadi, tidak heran kalau akhir-akhir ini banyak guru yang berlomba-lomba untuk melanjutkan kuliahnya. Rita berharap bahwa inisiatif guru untuk melanjutkan kuliah bukan sekadar untuk mendapat ijazah atau sertifikasi saja, tetapi lebih kepada peningkatkan kompetensi sebagai pendidik profesional.
Selain tuntutan akademik, banyak tugas yang harus dilaksanakan oleh guru dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah peran guru sebagai agen pembelajaran. Guru sebagai agen pembelajaran berperan memfasilitasi siswa agar dapat belajar secara nyaman dan berhasil menguasai kompetensi yang sudah ditentukan. Untuk itu, guru perlu merancang agar proses pembelajaran berjalan lancar dengan hasil optimal. Nah, kompetensi apa yang harus dikuasai guru sebagai agen pembelajaran? Ada empat kompetensi pokok yang harus dikuasai guru sebagai agen pembelajaran, yaitu (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi pedagogik, (3) kompetensi profesional, dan (4) kompetensi sosial.
A. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan seseorang yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan beraklak mulia.
Guru yang telah memiliki kompetensi kepribadian seperti di atas, pasti dapat melakukan tuntutan profesi dengan baik pula. Ia akan bangga menjadi guru dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, agama, maupun sosial. Guru tersebut juga mampu menunjukkan kemandirian sebagai pendidik dan memiliki etos kerja yang tinggi. Jika ada guru yang tidak bangga terhadap profesinya, orang tersebut tidak akan maju dan berkembang.
Guru yang memiliki kepribadian mantap juga mampu melakukan kincrja yang bermanfaat bagi peserta didik, sekolah, dan masyarakat. Guru tersebut mampu menunjukkan kedewasaan dalam berfikir dan bertindak sehingga produk kinerjanya dapat dikontrol dan dievaluasi lebih lanjut.
B. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi kedua yang harus dikuasai guru sebagai pendidik profesional adalah kompetensi pedagogik. Kemampuan ini diperlukan guru untuk membimbing dan memberikan pembelajaran kepada siswa agar lebih terarah.
Kompetensi pedagogik meliputi: (1) pemahaman tcrhadap peserta didik, (2) perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, (3) evaluasi hasil belajar, dan (4) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi pedagogik yang dimiliki guru juga dapat digunakan untuk memahami peserta didik dengan baik. Bagaimana cara memahami peserta didik dengan baik? Sebagai guru profesional, kita dituntut untuk ikut membantu mengembangkan bakat atau kelebihan peserta didik secara maksimal sekaligus dapat membantu kesulitan yang ia hadapi.
Setiap peserta didik pasti mempunyai bakat yang berbeda-beda. Ada peserta didik yang berbakat dalam bidang olahraga, seperti sepak bola atau bulutangkis. Ada juga peserta didik yang berbakat dalam bidang akademik. Guru tinggal mengembangkan bakat setiap peserta didik lebih lanjut. Jika sekolah menyediakan fasilitas untuk mengembangkan bakat mereka maka guru tinggal membina atau mendatangkan pembina khusus.
Nah, bagaimana cara guru untuk ikut membantu kesulitan-kesulitan lainnya dari peserta didik? Langkah yang dapat diambil guru adalah dengan mengidentifikasi kesulitan yang sedang dihadapi peserta didik. Jika peserta didik mengalami kesulitan di bidang pelajaran maka guru dapat membantunya dengan memberikan tambahan pelajaran di luar jam sekolah.
Dengan memiliki kompetensi pedagogik yang baik, diharapkan guru dapat menyusun rancangan pembelajaran dan melaksanakannya. Guru diharapkan dapat memahami landasan pendidikan, mampu menerapkan teori bclajar, dapat menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, dan mampu menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang tepat. Untuk menghasilkan proses belajar mengajar yang maksimal, guru memang tidak cukup mengandalkan rancangan yang telah dibuatnya. Guru harus tetap mencari metode dan strategi pembelajaran yang tepat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pedagogik seorang guru harus mampu mengembangkan kompetensi dan mengaktualisasikan potensi peserta didik. Selanjutnya, guru juga akan berusaha mencari strategi untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik.
Kepemimpinan Efektif dalam Manajemen Pendidikan
Kepemimpinan dalam manajemen pendidikan merupakan faktor kunci keberhasilan suatu organisasi. Kepemimpinan merupakan inti dalam manajemen pendidikan . Maju mundurnya suatu organisasi banyak dipengaruhi oleh faktor kepemimpinannya. Kepemimpinan akan berjalan secara efektif dan efisien apabila dilaksanakan oleh seorang pemimpin yang jujur, bertanggung jawab, transparan, cerdas, memahami tugas dan kewajibannya, memahami anggotanya, mampu memotivasi, dan berbagai sifat yang baik yang terdapat dalam diri seorang pemimpin. Ia sadar bahwa pemimpin memiliki arti sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dirinya sendiri dan orang lain melalui keteladanan, nilai-nilai serta prinsip yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Seorang yang mendapat amanah sebagai eksekutif akan menunjukkan nilai-nilai moral tersebut, sehingga mereka akan memimpin berdasarkan prinsip (principle centered leadership). Toto Tasmara (2002:196) menyatakan bahwa memimpin bukan hanya mempengaruhi agar orang lain mengikuti apa yang diinginkannya. Bagi seorang muslim, memimpin berarti memberikan arah atau visi berdasarkan nilai-nilai ruhaniah. Mereka menampilkan diri sebagai teladan dan memberikan inspirasi bagi bawahannya untuk melaksanakan tugas sebagai keterpanggilan ilahi. Sehingga mereka memimpin berdasarkan visi atau mampu melihat dan menjangkau ke masa depan (visionary leadership).
Ariani (2003:95) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan proses pemberian pengaruh yang tidak memaksa. Pemimpin mempunyai pengikut yang secara sukarela melaksanakan tugas-tugasnya dengan keahlian dan intelektualnya sebagai sumber kekuasaan. Kekuasaan tersebut digunakan untuk memelihara fleksibilitas dan memperkenalkan perubahan. Mereka cenderung menyukai perubahan dan menganggap konflik adalah wajar, bahkan harus ada. Bagi pemimpin. kegagalan adalah hal yang biasa dan merupakan konsekuensi dari proses belajar. Apabila ia merasa gagal ia harus belajar dan berani mengakui kegagalannya. Pemimpin yang baik, tidak hanya mengakui kegagalan yang ia lakukan tetapi ia berusaha keras untuk memperbaiki kegagalan yang pernah dilakukannya. Pemimpin yang berhasil ia selalu berpikir, berorientasi, dan mengambil keputusan untuk jangka panjang dan bertanggung jawab. Mereka tidak memerintah dan mengendalikan pengikut, melainkan mengajak untuk melakukan yang terbaik, memberikan arahan dan kebebasan berkreasi pada pengikutnya untuk mencapai tujuan bersama.
Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan beberapa pengertian tentang kepemimpinan menurut para ahli. Wahjosumidjo (1987:10) menyatakan bahwa apabila seseorang ingin mempelajari dan memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan kepemimpinan , perlu lebih dahulu mengerti dan paham arti atau batasan istilah kepemimpinan .
Pengertian kepemimpinan yang di kutip oleh Paul Hersey and Blanchart (1977:83- 84) dalam bukunya Management Organizational Behavior adalah sebagai berikut:
1. Leadership is the activity of influencing exercised to strive willingly for group objectives (George P Terry).
2. Leadership as interpersonal influence exercised in situation an directed, through the communication process, toward the attainment of a specialized goal the goals (Robert T Irving R. Wischler, Fred Na.ssarik).
3. Leadership is influencing people to follow in the achievement of a common goal (Harold Koonte and Cyril O Donnell).
Menurut Hemhiel and Coons (1957:7) bahwa kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang akan dicapai bersama (shared goal). Sedangkan menurut Rauch and Behling (1984:46) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Jacobs and Jacques, 1990:281). Lebih lanjut ditegaskan Kouzes dan Posner (1993:11) menyatakan Leadership is a relationship, one between constituent and leader that is based in mutual needs and interest.
Sebagai hubungan antara anggota-anggota organisasi dan pemimpin, maka kepemimpinan berlangsung atas dasar adanya saling membutuhkan dan minat yang sama dalam rangka mencapai tujuan.
Wahjosumidjo (1987:11) menjelaskan bahwa butir-butir pengertian dari berbagai kepemimpinan pada hakikatnya memberikan makna:
1. Kepemimpinan adalah suatu yang melekat pada din i seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability) dan kesunggupan (capability).
2. Kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan (activity)pemimpin yang tidal( dapat dipisahkan dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
3. Kepemimpinan adalah sebagai proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin, pengikut dan situasi.
Sejalan dengan itu, kepemimpinan sebagai konsep manajemen oleh Stogdill (1974:57) dapat dirumuskan ke dalam berbagai macam deflnisi, tergantung dari mana titik tolak pemikirannya. la menyebutkan bahvva kepemimpinan adalah: (1) suatu seni untuk menciptakan kesesuaian paham, (2) suatu bentuk persuasi dan inspirasi, (3) suatu kepribadian yang mempunyai pengaruh, (4) tindakan atau perilaku, (5) titik sentral proses kegiatan kelompok, (6) hubungan kekuatanfkekuasaan, (7) sarana pencapaian tujuan, (8) suatu hasil dari interaksi, (9) peran yang dipolakan, dan (10) sebagai inisiasi (permulaan) struktur. Ada empat bidang studi kepemimpinan , yaitu traits, behavior, situasional dan power influence approach (Yuki, 1976:26).
Ada tiga pendekatan tentang studi kepemimpinan . Pertama, studi kepemimpinan yang mencoba mengadakan identifikasi berbagai sifat para pemimpin, yakni dalam usaha menjawab pertanyaan How one becomes a leader Kedua, studi kepemimpinan yang menekankan kepada berbagai perilaku pemimpin, yaitu untuk memberikan jawaban atau pertanyaan How leader behave , dan ketiga, studi kepemimpinan kontingensi, yaitu studi kepemimpinan yang hakikatnya berusaha untuk memenuhi jawaban atas pertanyaan What makes the leader effective (Wahjosumidjo, 1987:12).
Lebih lanjut Feisal (1995:284) menyatakan bahwa kepemimpinan di dalam Islam adalah suatu hal yang inheren, serta merupakan salah satu sub sistem dalam sistem Islam yang mencakup pengaturan seluruh aspek kehidupan secara principal. Islam mengatur niat-amal-tujuan sekaligus sumber kehidupan, otak manusia, kemudian mengatur proses hidup, perilaku, dan tujuan hidup. Dalam Islam seorang pemimpin dan yang dipimpin hares mempunyai keberanian untuk menegakkan kebenaran yang dilaksanakan melalui prinsip kepemimpinan , yaitu melaksanakan kewajiban kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab seorang pemimpin dan melaksnakan hak berpartisipasi bagi yang dipimpin.
Quraish Shihab (1996:159) menjelaskan bahwa Islam menyebutkan kepemimpinan dengan beberapa istilah atau nama, diantaranya imamah, ri ayah, imarah, dan wilayah, yang semuanya itu pada hakikatnya adalah amanah (tanggung jawab). Nabi SAW bersabda: Apabila amanat disia-siakan, maka nantikanlah kehancurannya. Ketika ditanya, Bgaimana menyia-nyiakannya ? Beliau menjawab: Apabila wewenang pengelolaan ( kepemimpinan ) diserahkan kepada orang yang tidak mampu.
Hendaknya sejak dini pada setiap pribadi selalu ditanamkan suatu keyakinan bahwa dirinya terlahir sebagai pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah: Setiap pribadi adalah pemimpin dan kelak akan dipertanyakan tentang kepentimpinannnya. (HR. Muslim). Menurut Quraish Shihab (1996:163) dalam al-Quran ada perintah menunaikan amanat kepada pemiliknya, disusul dengan perintah menetapkan putusan yang adil, kemudian dilanjutkan dengan perintah taat (taqwa) kepada Allah, rasul dan ulil amri.
Memahami pengertian kepemimpinan dari sudut pandang para pakar akan memberikan gambaran bahwa kepemimpinan merupakan suatu peran yang sangat penting dalam manajemen pendidikan . Berbagai pengertian, konsep, teori dan praktik kepemimpinan dalam manajemen pendidikan bertujuan agar pendidikan dapat mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan masyarakat terhadap mute pendidikan menuntut kepemimpinan yang efektif . Tantangan bagi seorang pemimpin pendidikan adalah bagaimana is mampu berperan secara efektif dalam mendorong dan pelopor perubahan organisasi menuju organisasi yang bennutu. Upaya memperbaiki mutu dalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh mutu kepemimpinan dan manajemen yang efektif . Dukungan dari anggota hanya akan muncul secara berkelanjutan ketika pimpinannya benar-benar bermutu atau unggul. Dalam buku Technology in Educational Change karangan David F. Salisbury (1996:149) menyatakan -Without quality leadership and skillful management, even the ideas are never implemented. Without good management and on going support for their leaders, those lower in the organization become disillusioned in time, cease to continue the change effort.
Peran kepemimpinan penting sekali dalam mengejar mutu yang diinginkan pada setiap sekolah. Sekolah hanya akan maju bila dipimpin oleh kepala sekolah yang visioner, memiliki keterampilan manajerial, sena integritas kepribadian dalam melaksanakan perbaikan mutu. Kepemimpinan kepala sekolah tentu menjalankan manajemen sesuai dengan iklim organisasinya (Syafaruddin, 2002:50).
Kepala sekolah akan dapat memainkan perannya dengan efektif apabila memahami budaya sekolah yang dipimpinnya. Perubahan budaya yang berorientasi kepada mutu hams dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus memainkan kepemimpinan yang demokratis, transparan, jujur, bertanggung jawab, menghargai guru dan staf, bersikap adil, dan sikap terpuji lainnya yang tertanam dalam diri dan dirasakan oleh warga sekolahnya. Kepala sekolah terbuka menerima kritik dan masukan dari guru, staf TU, para siswa dan orang tua tentang budaya yang berkembang di sekolah.
Budaya sekolah ini berkaitan dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun budaya sekolah. Zamroni (2000:152) menegaskan bahwa untuk membangun visi sekolah ini, diperlukan kolaborasi antara kepala sekolah, guru, orang tua, staf administrasi dan tenaga professional. Budaya sekolah akan baik apabila: (a) kepala sekolah dapat berperan sebagai model, (b) mampu membangun tim kerjasama, (c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan (d) memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami pennasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam tnenjaga dan memberikan lingkungan yang kodusif bagi berlangsungnya proses tumbuhkembangnya budaya mutu di sekolah.
Kepemimpinan mutu pendidikan akan mampu menggerakkan organisasi agar program dan tujuan yang telah ditetapkan bersama dapat tercapai. Demikian pula dengan gerakan mutu (quality movement) pada lembaga pendidikan atau menumbuh kembangkan budaya mutu (quality culture) harus ditopang oleh peran kepemimpinan yang bermutu. Sallis (1993:86) menyatakan bahwa -Leadership is the esensial ingredient in TQM. Leader must have the vision and he able to translate it into clear policies and aspesific goals.
Pustaka: Ilmu dan aplikasi pendidikan
Landasan Antropologi Pendidikan
Ilmu pendidikan yang sering juga disebut dengan pedagogi atau pedagogika merupakan suatu disipl in ilmu yang terkait dengan proses pemberadaban, pemberbudayaan, dan pendewasaan manusia. Dalam konteks ini pendidikan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi integratif, egalitarian, dan pengembangan. Kehidupan sebagai suatu bangsa yang bersifat integratif, egalitarian, dan berkembang secara optimal merupakan ciri dari masyarakat yang anggotanya bersikap dewasa, yang beradab dan berbudaya.
Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu bangsa. Melalui pendidikan setiap peserta didik difasilitasi, dibimbing dan dibina untuk menjadi warganegara yang menyadari dan merealisasikan hak dan kewajibannya. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara ini apabila dimiliki secara kolektif akan mempersatukan mereka menjadi suatu bangsa.
Pendidikan juga merupakan alat yang ampuh untuk menjadikan setiap peserta didik dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Melalui pendidikan dapat dihilangkan rasa perbedaan kelas dan kasta, karena di mata hukum setiap warga negara adalah sama dan hams memperoleh perlakuan yang sama. Pendidikan juga dapat menjadi wahana baik bagi negara untuk membangun sumber daya manusia yang diperlukan dalam pembanginan juga bagi setiap peserta didik untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Ketiga fungsi pendidikan ini harus menjadi acuan dan pegangan dalam melaksanakan pendidikan secara nasional. Ini sejalan dengan apa telah yang digarikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan dimaksudkan sebagai usaha sadar dan terrencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Salah satu organisasi dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, yaitu United Nation Educational, Scientific, and cultural Organizatiion (UNESCO) merekomendasikan empat pilar pendidikan. Keempat pilar itu adalah 1) learning to know 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4 ) learning to live together. Berdasarkan ini, pendidikan seharusnya memberikan kepada peserta didik bekal-bekal ilmu pengetahuan sebagai pilar pertamanya, memberikan bekal-bekal kemampuan atau ketrampilan sebagai pilar kedua, memberikan bekal kemampuan untuk mengembangkan diri sebagai pilar ketiga, dan memberikan bekal-bekal kemampuan untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk sebagai pilar keempat.
Ini berarti, melalui pendidikan seharusnya terjadi proses belajar (dalam arti luas) untuk memperoleh pengetahuan dan kecakapan yang diperlukan dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, untuk pengembangan diri sesuai dengan potensi yang diiniliki, dan kemampuan untuk hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk. Dalam upaya mewujudkan keempat pilar ini proses pendidikan tidak boleh disederhanakan menjadi hanya proses pengajaran, melainkan sebagai suatu proses yang kompleks, komprehensif, berjangka (relatif) panjang. Untuk itu setiap orang yang terlibat dalam pendidikan harus memahami ilmu pendidikan dan aplikasinya.
Dalam perspektif ilmu pengetahuan, memperhatikan karya Aristoteles tentang tiga jenis kelompok ilmu dan uraian Al-Farabi serta Ibnu Sina tentang perlunya pembatasan spesialisasi ilmu agar tidak terlalu sempit dan spesifik, patut dicatat bahwa pembedaan secara tajam antara ilmu murni-teoretik sebagai ilmu dasar dan ilmu terapan-praktis tidak perlu tegas berlaku dalam ilmu pendidikan. Hal ini disebabkan oleh:
Pertama, ilmu pendidikan khususnya pedagogik teorites termasuk kategori atau kelompok ilmu praktis atau ilmu pengetahuan praktis mengingat lapangan objeknya termasuk kemungkinan perbuatan atau tindakan mendidik. Jadi ilmu pendidikan teoretik bukanlah jenis ilmu teoretik mumi ataupun terapannya (aplikatif).
Kedua, ilmu pendidikan adalah ilmu normatif sekalipun tidak bersifat preskriptif seperti sebagian dan filsafat pendidikan. Oleh karena itu ilmu pendidikan teoretik termasuk ilmu pendidikan empirik juga bersifat normatif. Studi fundasi psikologis pendidikan (psychological foundation of sociology) juga berciri normatif dan tidak sekedar mendeskripsikan hubungan-hubungan antara variabel —variabel pada terdidik ataupun guru.
Ketiga, ilmu pendidikan adalah ilmu empirik yang mencakup ilmu pendidikan empirik dan analisis materi situasi pendidikan sebagai gejala interrelasi dan humanisasi empirik. Gejala pendidikan yang dianalisis ilmu pendidikan bukanlah gejala abstrak yang formal ataupun simbolik belaka.
Keempat, ilmu pendidikan yang mempelajari fungsi materil dari pengetahuan dan nilai-nilai sebagai dunia makna dalam pendidikan menyebabkan lebih baik dimasukkan ke dalam kategori terpadu ilmu kemanusiaan (humaniora). Ilmu pendidikan yang cenderung menganalisis objeknya secara holistik berdekatan dengan ilmu-ilmu kehidupan atau perilaku (life on behavioral sciences) bukanlah sejenis ilmu kealaman (IPA). Ilmu pendidikan juga bersifat parsial mengenai hakekat dan perilaku manusia.
Disiplin ilmu pendidikan dengan obyek utama pengkajiannya adalah prilaku manusia berakar dari filsafat dan ditunjang oleh disiplin-displin ilmu pengetahuan lain, di antaranya adalah psikologi, antropologi, sosiologi, dan berbagai cabang dari ilmu-ilmu prilaku lain. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perluasan lapangan ilmu pendidikan menjadi ilmu pendidikan praktis, sehingga terjadi dikhotomi antara ilmu pendidikan teoretis dan ilmu pendidikan praktis.
Dalam ilmu pendidikan teoretis, fokus pengkajian utama adalah pada filsafat, teori, dan konsep-konsep dasar yang terkait dengan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah yang terkait dengan teori-teori berbagai cabang ilmu lain yang digunakan dalam pendidikan. Adapun ilmu pendidikan praktis lebih terfokus pada pelaksanaan atau praktik pendidikan dalam berbagai konteks.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di Indonesia, perkembangan ilmu pendidikan praktis cenderung lebih menonjol dan perkembangannya lebih pesat. Dengan masuknya para pakar non-kependidikan ke dalam bidang pendidikan telah berkembang pula pendidikan disiplin ilmu dan pendidikan limas bidang sebagai penerapan atau aplikasi pendidikan ke dalam bidang disiplin ilmu lain sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan terhadap penerapan bidang-bidang ilmu itu.
Sementara itu, terjadi juga kecenderungan para pembelajar ilmu pendidikan lebih mem inati ilmu pendidikan praktis dibandingkan dengan ilmu pendidikan teoretis. Ini semua di satu sisi berdampak positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan secara umum, namun di sisi lain berdampak pada makin berkurangnya pakar terkait dengan ilmu pendidikan teoretis, apalagi filsafat pendidikan, sehingga di berbagai lembaga pendidikan tinggi penyelenggara pendidikan tenaga kependidikan makin sulit dicari pakar ilmu pendidikan teoretis
Untuk memperkecil berbagai ekses yang tidak diinginkan sekaitan dengan kecenderungan seperti dipaparkan di atas maka disusun suatu buku yang membahas secara komprehensifdan terpadu tentang ilmu dan aplikasi pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar disiplin ilmu pendidikan dapat dipahami secara utuh, dan untuk mencapai maksud tersebuLdalam buku ini dibuat kerangka Ilmu dan Aplikasi Pendidikan dengan mengelompokkan kajiannya ke dalam empat kelompok besar. Keempat kelompok kajian itu adalah:
1) Pendidikan Teoretis
2) Pendidikan Praktis
3) Pendidikan Disiplin Ilmu
4) Pendidikan Lintas Bidang
Pendidikan Teoretis memfokuskan kajian pada landasan-landasan konseptual dan teoretik secara universal serta berbagai teori yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan itu sendiri dengan menyelidiki, menata secara sistematis akan fungsi dan tugas ilmu pendidikan serta teori pendidikan secara khusus. Pengkajian pendidikan teoretis meliputi: 1) filsafat pendidikan, 2) pedagogik teoretis, 3) teori mengajar, 4) teori kurikulum, 5) teori evaluasi pendidikan, 6) teori psikologi pendidikan 7) teori administrasi pendidikan, 8) teori konseling pendidikan, 9) teori sosiologi pendidikan, 10) teori antropologi pendidikan, 11) teori andragogi, dan 12) teori penelitian pendidikan.
Pendidikan Praktis memfokuskan kajian pada aplikasi teori pendidikan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Pengkajian pendidikan praktis ini meliputi: 1) andragogi praktis, 2) pendidikan nonfonnal, 3) pedaogik anak berkebutuhan khusus, 4) bimbingan dan konseling 5) kurikulum dan pembelajaran, 6) pengembangan kurikulum sekolah, 7) pengajaran, 8) teknologi pendidikan, 9) sumber belajar dalam pendidikan, 10) manajemen pendidikan, 11) penilaian pendidikan berbasis kolas, 12) ekonomi pendidikan 13) politik pendidikan, 14) penilaian dirt dalam pendidikan, 15) penjaminan mutu pendidikan.
Pendidikan Disiplin Ilmu merupakan aplikasi ilmu pendidikan dal= pembelajaran berbagai cabang ilmu pengetahuan atau mata pelajaran. Pendidikan disiplin ilmu ini meliputi: 1) pendidikan agama, 2) pendidikan akhlak, 3) pendidikan nilai, 4) pendidikan bahasa, 5) pendidikan bahas asing, 6) pendidikan kewarganegaraan, 7) pendidikan matematika 8) pendidikan sains, 9) pendidikan fisika, 10) pendidikan kimia, 11) pendidikan biologi, 12) pendidikan ilmu pengetauan sosial, 13) pendidikan ekonomi, 14) pendidikan bisnis, 15) pendidikan ilmu sejarah, 16) pendidikan geografi, 17) pendidikan lingkungan hidup, 18) pendidikan sent, dan 19) pendidikan olahraga.
Adapun pendidikan lintas bidang memfokuskan kajian pada konteks penerapan ilmu pendidikan itu sendiri. Kajian pendidikan lintas bidang ini di antaranya meliputi: 1) pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, 2) pendidikan multibudaya, 3) pendidikan keluarga, 4) pendidikan anak usia dini, 5) pendidikan dasar dan menengah 6) pendidikan usia lanjut, 7) pendidikan anak berbakat, 8) pendidikan wanita, 9) pendidikan kesejahteran keluarga, 10) pendidikan umum, 11) pendidikan kesehatan, 12) pendidikan seks, 13) pendidikan berbasis unggulan lokal, 14) pendidikan kecakapan hidup, 15) pendidikan teknologi dan kejuruan, 16) pendidikan profesi, 17) pendidikan kedinasan, 18) pendidikan pesantren, 19) pendidikan dan pelatihan, 20) pendidikan jarak jauh, dan 21) pendidikan dunia maya.
Dengan kerangka ilmu dan aplikasi pendidikan seperti dipaparkan di atas, kita diharapkan dapat memahami ilmu pendidikan secara utuh dalam arti komprehensif dan terpadu. Keutuhan itu tercermin dari pembahasannya, yang didalamnya meliputi pembahasan tentang ilmu pendidikan secara teoretis yang menjadi dasar pijakan dalam praktik dan pelaksanaan pendidikan, dan ilmu pendidikan praktis yang mengkaji berbagai penerapan ilmu pendidikan, baik dalam pelaksanaanya itu sendiri, penerapannya dalam pembelajaran berbagai disiplin ilmu pengetahuan, maupun penerapannya dalam berbagai konteks yang bersifat lintas bidang.
Dengan pemahaman yang utuh tentang ilmu dan aplikasi pendidikan seperti ini diharapkan para praktisi, pengambil kebijakan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan selain dapat memperoleh pegangan yang kokoh dalam melaksanakan, mengambil kebijakan maupun dalam menunjukkan kepedulaiannya terhadap pendidikan, tetapi juga tidak menyederhanakan persoalan-persoalan pendidikan menjadi hanya sekadar terkait dengan proses pembelajaran atau segmen-segmen kecil yang dapat dikenali oleh masyarakat pada umumnya dalam praktik. Dengan demikian bidang pendidikan ditempatkan secara tepat dan penangannya dilakukan secara profesional.
Pustaka
ILMU DAN APLIKASI PENDIDIKAN Bagian I: Ilmu Pendidikan Teoretis
Sistem Pendidikan di Indonesia
Dalam rangka untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia maka diselenggarakanlah suatu sistem pendidikan nasional. Negara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Dengan pendidikan dan pengajaran itu diharapkan akan memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar sebagai bekal untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemampuan dasar yang dimaksud adalah kemampuan membaca, menulis dan berhitung, serta menggunakan Bahasa Indonesia.
Pendidikan Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun, diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satuan pendidikan yang sederajat. Pada jalur luar sekolah, pemerintah menyediakan program paket A dan paket B (setara SLTP) bagi anak usia sekolah yang orang tuanya tidak mampu membiayai untuk masuk SD ataupun SLTP.
Pendidikan Dasar diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Oleh karena itu, pendidikan memerlukan penanganan yang sangat serius, khususnya pemerintah yang memiliki otoritas anggaran. Melalui tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah harus berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakat dan kebangsaan.
Permasalahan di dunia pendidikan memang sangat kompleks. Bahkan dikatakan, dunia pendidikan di negeri ini seperti benang kusut yang sulit memulainya dari mana. Di antara permasalahan tersebut adalah kualitas pendidikan yang rendah yang mengakibatkan matinya kreativitas anak didik pasca sekolah dan jatuhnya rasa percaya diri siswa didik ketika menghadapi dunia kerja yang keras. Lulusan sekolah sering kali justru menjadi anak cengeng dengan sifat ABG-nya yang kental, dan semakin jauh dari realitas masyarakat di sekitarnya. Di samping persoalan mendasar tersebut, masalah lain yang mengemuka adalah relatif rendahnya kesejahteraan guru, minimnya sarana Pendidikan Dasar, dan terbatasnya biaya operasional pendidikan. Hal ini harus dicarikan solusinya, meskipun dilakukan secara bertahap.
Mengapa Pendidikan Dasar mendapat tekanan khusus dibandingkan jenjang pendidikan lain? Karena menurut para pakar pendidikan adalah Pendidikan Dasar ini yang paling parah. Sarananya saja paling banyak rusak dibandingkan SLTP dan SLTA. Belum lagi menyangkut masalah pelaksanaan proses belajarnya. Dengan telah disahkannya undang-undang pendidikan nasional, kita berharap agar dana sebesar 20% dari APBN benar-benar direalisasikan dan diberikan untuk dunia pendidikan di negeri ini. Sering kali dana pendidikan tersebut dialokasikan ke birokrasi dan seremonial pendidikan yang kurang bermanfaat. Kita mengharapkan agar birokrasi pendidikan lebih dapat memanfaatkan anggaran pendidikan negara dengan efektif
efisien sehingga menyentuh kebutuhan riil anak didik.
Pustaka
Pendidikan berwawasan kebangsaan: kesadaran ilmiah berbasis multikulturalisme - M. Nasruddin Anshoriy Ch, Pembayun (G. K. R.)
Integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam PAKEM
Information and Communications Technologies (ICT) atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah alat-alat seperti radio, televisi, handphone dan komputer. Dalam buku ini, kita membatasi “teknologi” untuk hanya meliputi komputer dan alat multimedia (kamera digital, handycam dan intemet). Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah mengubah cara belajar di ruang-ruang kelas di setiap negara di dunia. Saat ini para guru telah menggunakan teknologi untuk mem-bantu mereka menghadapi tantangan yang diberikan oleh perubahan.
Pemanfaatan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia seringkali hanya digunakan untuk membantu kegiatan administrasi di sekolah saja, tak ubahnya menggantikan mesin ketik konvensional. Bahkan banyak pula sekolah-sekolah maju, yang memiliki laboratorium komputer dengan jumlah komputer yang memadai, hanya memanfaatkan perangkat TIK yang ada untuk mengajarkan keterampilan teknologi informasi saja seperti pelatihan Internet, perangkat perkantoran kepada para siswanya, tak ubahnya seperti kelas kursus komputer pada umumnya.
Seharusnya perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk meningkatkan kualitas pem-belajaran di ruang kelas dengan cara mengintegrasikannya ke dalam kurikulum yang ada. Penggunaan teknologi berbeda dengan maksud dari Integrasi Teknologi. Kegiatan mengajarkan penggunaan teknologi seperti kegiatan di atas, sangat berbeda dengan kegiatan Integrasi Teknologi dalam kegiatan pembelajaran. Integrasi teknologi adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam wilayah konten secara umum dalam pendidikan untuk memungkinkan mereka belajar keterampilan komputer dan teknologi. Secara umum, kurikulumlah yang mengendalikan penggunaan teknologi, bukan sebaliknya (Edutopia, 2008).
The International Society for Technology in Education (ISTE) telah membuat standar teknologi untuk siswa, guru dan pengelola kelas dasar (K-12) di Amerika. ISTE, merupakan pemimpin dalam membantu guru-guru di sana menjadi pengguna teknologi yang efektif, mereka berpendapat bahwa “Integrasi kurikulum dengan pemanfaatan teknologi melibatkan infusi dari teknologi sebagai perangkat untuk meningkatkan pembelajaran dalam sebuah wilayah konten atau dalam setting multi-disiplin. Integrasi teknologi yang efektif akan tercapai ketika siswa mampu untuk memilih perangkat teknologi untuk membantu mereka memperoleh informasi dengan cara yang tepat, melakukan analisa dan sintesa informasi, serta menyajikannya secara profesional. Teknologi harus menjadi sebuah bagian integral dari fungsi kelas seperti perangkat pengajaran lain yang mudah untuk diakses. Fokusnya adalah pada setiap pelajaran, bukan teknologinya (NETS, 2007).
Konstruktivisme merupakan komponen terpenting dari integrasi teknologi. Konstruktivisme merupakan suatu pandangan mengenai bagaimana seorang belajar, yaitu menjelaskan bagaimana manusia membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitamya melalui pengenalan terhadap benda-benda di sekitarnya yang direfleksikan melalui pengalamannya (Piaget, 1967). Untuk mengimplementasikan konstruktivisme di dalam kelas, guru harus berkeyakinan bahwa peserta didik ketika datang ke kelas otaknya tidak kosong dengan pengetahuan. Mereka datang ke dalam situasi belajar dengan pengetahuan, gagasan, dan pemahaman yang sudah ada dalam pikiran mereka. Jika sesuai, pengetahuan awal inilah yang merupakan materi dasar untuk pengetahuan baru yang akan mereka kembangkan.
Prinsip-prinsip konstruktivisme adalah:
1. Siswa membawa pengetahuan awal yang khas dan keyakinan-keyakinan pada situasi pembelajaran.
2. Pengetahuan dibangun secara unik dan individu/personal, dalam berbagai cara, lewat berbagai perangkat, sumbersumber, dan konteks.
3. Belajar merupakan proses yang aktif dan reflektif.
4. Belajar adalah proses membangun. Kita dapat mempertimbangkan keyakinan dengan mengasimilasi, mengakomodasi, atau bahkan menolak informasi baru.
5. Interaksi sosial mengenalkan perspektif ganda pada pembelajaran.
6. Belajar dikendalikan secara internal dan dimediasi oleh siswa.
Dalam kelas konstruktivisme para siswa adalah bintang dalam kelaskelas mereka yang berpusat pada siswa (learner/student centered). Mereka mengungkap pengetahuan dan informasi pengalaman masa lalu, dari apa yang mereka dengar dan diskusikan. Pemahaman yang mereka peroleh sebelumnya adalah fondasi dari pembelajaran dalam kelas. Seperti detektif yang memecahkan misteri kriminalitas, para siswa bertanggung jawab atas pemecahan masalah-masalah dalam pelajaran. Para detektif memulai dad apa yang mereka ketahui dari berbagai sumber — sidik jari, bukti-bukti DNA, dan saksi-saksi mata. Seperti itu pulalah siswa temyata dalam kehidupan mereka sehari-hari telah melakukan riset (informal maupun formal) dari berbagai sumber — artikel koran, wawancara dengan para ahli, buku, dan video — untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti seorang detektif yang memerlukan lebih dari satu barang bukti untuk memecahkan kejahatan, para siswa dapat menggunakan beragam sarana (komputer, teks (buku), informasi dari wawancara) sebagai pendekatan terhadap masalah pembelajaran. Seperti seorang detektif (reserse) dari kepolisian yang bekerja dalam tim, siswa membutuhkan kolega dan mentor atau supervisor untuk berdiskusi, melakukan refleksi, dan berkonfrontasi untuk membantu mereka bekerja mencapai solusi.
Kalau siswa berperan sebagai detektif yang serba bisa, maka apa yang dilakukan para guru? Pendeknya, guru berperan sebagai pemimpin dalam pembelajaran kelas. Guru tidaklah memberikan seluruh jawaban atau mengendalikan materi, tetapi guru menetapkan struktur yang mendorong eksplorasi siswa. Struktur ini meliputi pengaturan kelas (setting), pencapaian tujuan kurikulum, mengases apakah proses belajar telah terjadi di antara siswa, mengelola aktivitas kelas yang seimbang untuk mengakomodasi keterampilan-keterampilan siswa, dan menciptakan nuansa eksploratif di awal kegiatan sehingga siswa termotivasi untuk memenuhi tugasnya. Guru-guru dalam kelas seperti ini bergantung pada keterampilan bertanya yang balk, memonitor diskusi siswa, dan menetapkan peraturan yang memberi peluang bagi siswa untuk terlibat dalam percakapan dan kolaborasi. Mereka memberi contoh/model dalam berlogika dan melakukan proses berpikir, mengidentifikasi dan mengungkapkan kembali pemahaman dan keyakinan siswa, mendukung dialog antara guru dengan siswa dan antar-siswa, serta memberi umpan balik.
Pustaka
Pakematik: Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis TIK
Pengertian CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)
Pengertian CBSA
Pengertian CBSA dapat kita telusuri dalam kegiatan belajar-mengajar. Pemahaman terhadap mengajar ditentukan oleh persepsi guru terhadap belajar. Kalau belajar dianggap sebagai usaha untuk memperoleh informasi,maka mengajar adalah memberi informasi. Kalau belajar adalah untuk memperoleh suatu keterampilan,maka mengajar adalah melatih keterampilan. Konsep belajar-mengajar dalam pemahaman seperti itu kurang mendapat tempat bagi CBSA. Seperti telah disebutkan sebelumnya,peserta didik merupakan seorang peneliti yang mengamati lingkungan sekitarnya. Belajar dalam pengertian CBSA ini adalah kegiatan untuk mengolah informasi. Dengan demikian,mengajar adalah usaha untuk mengoptimalkan kegiatan belajar.
Belajar adalah seperangkat kegiatan, terutama kegiatan mental intelektual, mulai dan kegiatan yang paling sederhana sampai kegiatan yang rumit. Pada tahap pertama, kegiatan ini tampak seperti kegiatan fisik dalam arti kegiatan melihat, mendengar, meraba, dengan alat-alat indera manusia. Kegiatan ini dilakukan untuk melakukan kontak dengan stimulus atau bahan yang dipelajari. Akan tetapi, kegiatan belajar tidak terhenti sampai di sini. Proses melihat tidak terhenti pada lensa mata, kegiatan mendengar tidak terhenti pada telinga, tetapi diteruskan pada struktur kognitif orang yang bersangkutan.
Kegiatan mental intelektual seperti ini disebut akomodasi kognitif. Mengamati dan tidak terbatas hanya melihat, memperhatikan dan tidak hanya terbatas pada mendengar, merasakan, dan sebagainya, adalah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ini. Akomodasi kognitif ini bisa gagal jika temuan baru yang diakomodasikan itu terasa asing bagi stok kognitif yang telah ada. Karena itu, proses akomodasi ini sangat tergantung pada apa yang telah dimiliki sebelumnya.
Kegiatan belajar tidak terbatas hanya sampai pada akomodasi kognitif. Temuan baru yang sudah diakomodasikan ke dalam stok kognitif akan mengintegrasikan dirinya dengan stok kognitif yang telah ada. Stok kognitif seseorang mempunyai struktur tersendiri. Jika kita menyebut istilah sekolah misalnya, dan meminta kepada siswa untuk menulis satu kata yang ada hubungannya dengan istilah sekolah itu, maka akan kita temukan berbagai macam kata yang mereka tulis. Ada yang menulis belajar, ada yang menulis guru, ada yang menulis siswa, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan struktur kognitif yang berbeda-beda yang tampak dalam metode mengklasifikasikan yang berbeda-beda pula. Kegiatan intelektual untuk mengintegrasikan temuan baru ke dalam struktur kognitif ini disebut proses asimilasi kognitif. Kegiatan-kegiatan ini antara lain menguji, mencocokkan, menyesuaikan, mempergunakan, dan sebagainya termasuk dalam kegiatan mental intelektual dalam pengertian CBSA – cara belajar siswa aktif. Dengan demikian, istilah aktif dalam konsep CBSA adalah aktivitas mental intelektual yang ada dalam proses akomodasi dan asimilasi kognitif.
Belajar adalah aktivitas manusia di mana semua potensi manusia dikerahkan. Kegiatan ini tidak terbatas hanya pada kegiatan mental intelektual, tetapi juga melibatkan kemampuan-kemampuan yang bersifat emosional bahkan tidak jarang melibatkan kemampuan fisik. Rasa senang atau tidak senang, tertarik atau tidak tertarik, simpati atau antipati, adalah dimensi-dimensi emosional yang turut terlibat dalam proses belajar itu. “Membenci kejahatan dan mencintai perdamaian” tidak hanya dipahami secara intelektual, tetapi juga dihayati secara emosional.
Kegiatan fisik, seperti menulis, mengatur, meragakan, dan sebagainya juga turut terlibat. Belajar menyetir, membuat bangunan, mengetik adalah contoh-contoh bahwa aktivitas fisik itu mempunyai peranan penting. Semua kegiatan inilah yang dimaksud dengan istilah aktif dalam CBSA, sehingga pengertian CBSA adalah cara mengajar dengan melibatkan aktivitas siswa secara maksimal dalam proses belajar baik kegiatan mental intelektual, kegiatan emosional, maupun kegiatan fisik secara terpadu.
Menurut Conny Semiawan, dalam CBSA selalu dihadapkan kepada isi atau pesan yang terarah pada tujuan tertentu. Karena itu, menurut beliau “CBSA yang dipraktikkan adalah cara belajar siswa aktif yang mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan. Keterampilan memproseskan perolehan pada siswa meliputi keterampilan-keterampilan: mengamati atau mengobservasi, membuat hipotesis, merencanakan penelitian, mengendalikan variabel, menafsirkan data, menyusun kesimpulan, membuat prediksi, menerapkan, dan mengkomunikasikan.
Mengajar dalam pendekatan seperti ini berarti menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan semua kemampuan siswa dapat dikembangkan dalam proses belajar. Komponen-komponen dari sistem itu disusun sedemikian sehingga aktivitas siswa dapat dikerahkan secara maksimal dengan arah yang tepat. Antara lain, materi disajikan secara merangsang, kemampuan siswa diperhitungkan, guru yang berfungsi sebagai motivator, organisator, pengarah, dan media pengajaran yang cukup komunikatif. Di dalam sistem yang demikian siswa memperoleh pengalaman belajar dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Siswa live-in di dalam proses belajar-mengajar sehingga mereka menikmati pengalaman belajar itu dengan asyik. Keasyikan dalam pengalaman belajar membuat pengalaman belajar tidak terikat pada ruang dan waktu. Siswa tidak lagi merasa terkurung di dalam ruang kelas yang dibatasi oleh tembok karena imajinasi mereka menembus batas-batas itu. Begitu juga mereka tidak merasa dibatasi oleh waktu yang tersedia. Waktu 90 menit bertatap muka dalam kelas dirasakan seperti hanya lima menit.
2. Kegiatan belajar berjalan secara antusias. Keinginan mengetahui, mencari disertai dengan keyakinan pada dini sendiri berkembang di dalam proses belajar itu sendiri.
3. Ada rasa kepenasaran diikuti dengan sikap on the task. Pengalaman belajar yang telah dikembangkan di dalam kelas akan diteruskan di luar kelas, baik dalam arti pengalaman belajar terstruktur maupun pengalaman belajar mandiri. Sama halnya dengan seorang penggemar musik yang menikmati rangkaian nada suara gitar. Jiwanya seolah-olah terpadu bersama dengan nada gitar yang digemarinya. Ia dibawa terbang tinggi oleh nada tinggi dan dihempaskan oleh nada-nada rendah. Tetapi tiba-tiba gitar berhenti sebelum nyanyiannya selesai. Si penggemar yang menikmatinya menjadi kecewa, dan sekaligus penasaran untuk mencari nada gitar yang terputus. Kalau hal ini disejajarkan dengan belajar, maka ketertarikan siswa pada pelajaran sangat tergantung pada guru sebagai aktornya. Pelajaran itu tidak selesai di dalam kelas, dan hal itu menimbulkan kepenasaran siswa untuk mencari lanjutannya di perpustakaan atau di mana saja sumber yang dapat mereka temukan.
Ciri-ciri tersebut menunjukkan adanya keterlibatan siswa secara mental-intelektual-emosional-fisik dalam proses belajar, baik di dalam kelas maupun pada kegiatan terstruktur dan mandiri. Khusus di dalam proses belajar-mengajar di kelas, kadar CBSA dapat diamati melalui tujuh indikator dari Mckeachi sebagai berikut.
1. Tingkat partisipasi siswa dalam menentukan tujuan kegiatan belajar-mengajar.
2. Pemberian tekanan pada afektif.
3. Tingkat partisipasi siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
4. Penerimaan guru terhadap perbuatan atau kontribusi siswa yang kurang relevan.
5. Derajat kohesivitas kelas sebagai kelompok.
6. Peluang yang ada bagi siswa untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan sekolah.
7. Jumlah waktu yang digunakan oleh guru dalam menangani masalah pribadi siswa.
Untuk menciptakan kondisi belajar seperti itu perlu diperhatikan beberapa syarat. Conny Semiawan mengemukakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam usaha menciptakan kondisi belajar supaya siswa dapat mengoptimalkan aktivitasnya dalam proses belajar-mengajar. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. Prinsip motivasi, di mana guru berperan sebagai motivator yang merangsang dan membangkitkan motif-motif yang positif dari siswa dalam proses belajar-mengajar.
2. Prinsip latar atau konteks, yaitu prinsip keterhubungan bahan baru dengan apa yang telah diperoleh siswa sebelumnya. Dengan perolehan yang ada inilah siswa dapat memproses bahan baru.
3. Prinsip keterarahan, yaitu adanya pola pengajaran yang menghubung-hubungkan seluruh aspek pengajaran.
4. Prinsip belajar sambil bekerja, yaitu mengintegrasikan pengalaman dengan kegiatan fisik dan pengalaman dengan kegiatan intelektual.
5. Prinsip perbedaan perorangan, yaitu kenyataan bahwa ada perbedaan-perbedaan tertentu di antara setiap siswa, sehingga mereka tidak diperlakukan secara klasikal.
6. Prinsip menemukan, yaitu membiarkan sendiri siswa menemukan informasi yang dibutuhkan dengan pengarahan seperlunya dari guru.
7. Prinsip pemecahan masalah, yaitu mengarahkan siswa untuk peka pada masalah dan mempunyai keterampilan untuk mampu menyelesaikannya.
Pustaka Artikel Pengertian CBSA
Strategi Belajar Mengajar (Cover Baru) Oleh W Gulo
Peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi kehidupan manusia
Dalam perkembangannya, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memiliki peran penting bagi kehidupan manusia. Selain mempercepat komunikasi, TIK juga memudahkan manusia dalam menyelesaikan urusannya.
Berikut ini peranan TIK dalam berbagai bidang kehidupan manusia:
1. Bidang Penerbangan
a. Mengatur jadwal penerbangan (flight scheduling).
b. Mengatur perubahan jadwal terbang secara mendadak (itinerary change).
c. Mengatur sistem penjualan tiket dan reservasi penerbangan (real time reservation).
d. Mengatur sistem komunikasi kepada pilot-pilot pesawat mengenai apa yang harus dilakukan (flight progress checks).
2. Bidang Perbankan
a. Mengatur pelayanan rekening kepada nasabah.
b. Menyediakan mesin teller otomatis atau anjungan tunai mandiri (ATM). Dengan perangkat ini, pihak bank dapat memberikan kemudahan kepada nasabah untuk melakukan transaksi walaupun pada saat libur.
3. Bidang Perdagangan
a. Menyediakan sistem jaringan yang terkoneksi melalui alat bantu scanner (pemindai).
b. Menyediakan alat bantu konsumen untuk melakukan pengecekan harga.
4. Bidang Perkantoran
a. Menyediakan mesin penjawab telepon secara otomatis.
b. Menyediakan alat pengolah kata dengan mesin komunikasi berupa teleks dan faksimile.
5. Rumah Masa Depan
Peranan TIK dalam rumah masa depan yang berdasar pada home automation adalah ketersediaan alat pemantau bahaya yang dapat memberitahukan pencurian, kebakaran, dan kebocoran gas. Alat ini berfungsi secara otomatis dan diperintah lewat saluran telepon.
Pustaka
Jago Teknologi Informasi & Komusikasi SMP Oleh Fauziah, S. Kom, Msi
Kamis, 16 Juni 2011
Peran orang tua dalam pembinaan iman anak
Keluarga sedang “diserang”
Mungkin kalimat “keluarga sedang diserang” terlihat terlalu bombastis dan tidak realistis, karena ada sebagian dari kita yang merasa bahwa keluarganya baik-baik saja. Namun, kalau kita mengetahui hakekat dan tujuan keluarga Katolik yang sebenarnya, maka sudah seharusnya kita melihat bahwa ancaman terhadap keluarga- keluarga Katolik adalah sesuatu yang nyata terjadi di sekitar kita. Terlebih lagi, jika kita juga menyadari tanggung jawab orang tua dalam pendidikan iman anak, maka kita akan semakin waspada akan ancaman ini, dan mengusahakan semampu kita agar jangan sampai kita jatuh dan ‘menyerah’ pada keadaan.
Jika kita melihat dunia di sekitar kita, kita dapat dengan jujur melihat bahwa ada begitu banyak perkawinan yang hancur. Kehancuran perkawinan ini bukan hanya menimpa teman atau kerabat yang jauh, namun juga telah menimpa sahabat dan saudara yang dekat dengan kita. Berapa banyak dari kita yang melihat bahwa anak-anak teman atau saudara kita yang kehidupannya berantakan, terjebak narkoba dan seks bebas, bahkan sampai pernah dipenjara. Mungkin kita juga sering melihat ada begitu banyak anak yang lahir dari keluarga Katolik, namun akhirnya berpindah ke gereja lain atau mungkin ke agama lain, atau mungkin menjadi ateis. Inilah kondisi yang dialami oleh orang tua di zaman sekarang, yang akarnya adalah karena orang tua tidak cukup melaksanakan pendidikan iman Kristiani kepada anak- anak sejak sedini mungkin. Memang dapat dikatakan bahwa di jaman sekarang, membesarkan anak-anak dan menanamkan iman Kristiani dalam diri mereka menjadi lebih sulit, karena kondisi dunia sekarang memang sering bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Bahkan dinamika kehidupan di dalam rumah kita sendiri sering menambah sulitnya penerapan nilai- nilai Kristiani. Kondisi macet, kesibukan orang tua, pengaruh mass media, pola hidup konsumtif, mental ‘tidak mau repot’, adalah beberapa contohnya, mengapa orang tua menghadapi tantangan yang besar untuk melaksanakan peran mereka sebagai pendidik utama bagi anak- anak dalam keluarga, terutama dalam hal iman.
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, “Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ”
Ungkapan ini adalah suatu ironi, namun menyiratkan keputus asaan orang tua, atau penyesalan bahwa segala sesuatunya sudah terlanjur. Kita harus mengusahakan sedapat mungkin agar jangan sampai anak- anak kita bertumbuh menjadi semaunya dan ‘tak terkendali’, lalu kita hanya dapat menyesalinya. Selalu ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah hal- hal yang buruk terjadi pada anak- anak kita, dan kita dapat memulainya dengan langkah sederhana: yaitu dengan setia menanamkan iman kepada anak- anak kita sejak mereka masih kecil. Harapannya ialah, setelah mereka tumbuh remaja dan dewasa, mereka dapat menjadi pribadi- pribadi yang utuh, beriman dan bertanggungjawab.
Bagaimana melawan serangan dari luar dan membangun keluarga kristiani dari dalam?
Ibarat sebuah rumah, maka keluarga juga harus dibangun atas dasar yang kuat. Dan dasar pondasi yang kuat itu adalah iman akan sabda Tuhan dan penerapannya di dalam perbuatan kita (lih. Mat 7:24-27). Keluarga adalah tempat pertama bagi anak- anak untuk menerima pendidikan iman dan mempraktekkannya. Dalam hal ini orang tua mengambil peran utama, yaitu untuk menampakkan kasih Allah, dan mendidik anak- anak agar mengenal dan mengasihi Allah dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dimulai dengan mengasihi orangtua, kakak dan adik, teman- teman di sekolah, pembantu rumah tangga dan sopir, dst. Jadi adalah tugas orang tua, untuk membentuk karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi yang mengutamakan Allah dan perintah- perintah-Nya. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, agar ingat akan kehadiran Tuhan di dalam hidup mereka, supaya anak- anak dapat dengan spontan bersyukur, memohon perlindungan dan pertolongan kepada-Nya?
Agaknya perlu kita ingat bersama, mengapa semua hal ini menjadi penting dan harus kita lakukan. Ya, karena kita semua, baik masing- masing maupun sebagai keluarga, kita harus mengingat bahwa tujuan hidup kita yang terakhir adalah Surga. Kita percaya bahwa Tuhan menghendaki kita bersatu dengan Dia di surga, maka kita harus berjuang bersama- sama untuk mencapainya, tentu dengan bantuan rahmat Tuhan.
Tujuan utama pendidikan Kristiani
Dengan tujuan akhir manusia adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga,[1] maka pendidikan anak secara umum harus mengarah kepada pembentukan pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak mereka dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Jadi tugas orang tua adalah menghantar anak- anak agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sudahkah para orang tua menyadari tugas yang mulia ini?
Selanjutnya, mungkin kita bertanya, jika tujuan pendidikan Kristiani adalah surga, bagaimanakah cara untuk mencapainya? Gereja Katolik, melalui Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa anak- anak dapat dihantar untuk mencapai surga, jika mereka diperkenalkan kepada misteri keselamatan, iman, kekudusan agar siap memberikan kesaksian akan pengharapan imannya. Dan dalam hal ini, penerimaan sakramen dan perayaan liturgi menjadi penting, karena di sanalah kita semua menerima rahmat Allah yang menguduskan itu:
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Selain itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …” [2]
Di samping itu, orang tua juga harus mendidik anak- anak agar mengenal dan menerapkan nilai- nilai yang paling esensial dalam hidup manusia, yaitu bahwa setiap manusia itu berharga di mata Tuhan, tidak peduli apakah rasnya, agamanya, atau pekerjaannya. Dengan demikian, anak- anak diajar untuk menghargai orang- orang di sekitarnya, terutama yang kurang beruntung dibandingkan dengan mereka. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan demikian:
“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada karena apa yang dia miliki.” [3]
Adalah suatu permenungan, sejauh manakah kita sebagai orang tua mengajarkan hal ini kepada anak- anak? Jangan sampai anak- anak kita hanya menghargai orang berdasarkan penampilan, atau anak- anak begitu tergiur dengan barang- barang yang mahal- mahal, sehingga tidak mampu lagi menghargai kesederhanaan dan ketulusan.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak
Mengingat pentingnya tujuan pendidikan, dan bagaimana seharusnya dilaksanakan secara Kristiani, maka penting digarisbawahi di sini peran orang tua sebagai pendidik utama anak- anak. Gereja Katolik mengajarkan demikian:
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka”[4]. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain[5].
Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan iman anak- anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.
Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.
Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dan seterusnya.
Bagaimana menanamkan pendidikan iman pada anak- anak?
1. Doa bersama sekeluarga dan mendampingi anak- anak menerima sakramen- sakramen
Doa adalah nafas iman. Maka jika kita ingin menanamkan iman kepada anak- anak, pertama- tama adalah kita harus mengajari mereka berdoa, dan bukan hanya mengajari saja, kita perlu berdoa bersama- sama dengan mereka. Dalam setiap keadaan, baik susah ataupun senang di dalam keluarga, kita perlu berdoa. Dalam keadaan bersuka cita kita mengucap syukur kepada Tuhan; dan dalam keadaan berduka, kesulitan, sakit, kita memohon pertolongan-Nya. Firman Tuhan mengajarkan, “… nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Flp 4:6) Selanjutnya, para orang tua juga perlu mempersiapkan anak- anak untuk menerima sakramen- sakramen. Paus Paulus VI mengajarkan:
“Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” [6]
Di samping penting bagi pertumbuhan iman anak, doa keluarga juga memegang peran yang penting untuk mempersatukan keluarga. Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan hal yang serupa, dengan mendorong keluarga- keluarga untuk bersama- sama membaca dan merenungkan Kitab suci, mempersiapkan diri sebelum menerima sakramen- sakramen, melakukan doa pernyerahan keluarga kepada Hati Kudus Yesus, doa penghormatan kepada Bunda Maria, doa sebelum dan sesudah makan dan doa devosi lainnya. [7]. Mengulangi ajaran Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan pentingnya doa rosario bersama keluarga untuk memupuk kerukunan dan menumbuhkan kehidupan rohani dalam keluarga. Doa bersama sekeluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakan hal ini, firman Allah digenapi dalam keluarga itu, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20) Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.”[8].
Sayangnya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah keluarga tidak menyediakan waktu yang khusus untuk berdoa apalagi merenungkan firman Tuhan bersama- sama. Padahal sejak usia dini, anak- anak umumnya mempunyai kehausan untuk mengenal firman Tuhan. Ada banyak keingintahuan anak- anak tentang banyak hal, terutama juga tentang Tuhan dan kisah- kisah di dalam Kitab Suci. Sebagai orang tua, kita harus menanggapi kerinduan jiwa mereka untuk mengenal Tuhan. Orang tua adalah pewarta Injil yang pertama bagi anak- anak mereka.[9] Sekolah ataupun Bina Iman dapat membantu, namun tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal ini.
Demikian pula, perhatian terhadap sakramen juga perlu ditingkatkan di dalam kehidupan keluarga. Sebab nampaknya ada kecenderungan bahwa orang tua tidak memberi perhatian khusus untuk mempersiapkan batin anak- anak sebelum mereka menerima sakramen- sakramen. Berapa banyak orang tua yang membimbing anak- anaknya memeriksa batin sebelum menerima sakramen Pengakuan Dosa? Banyak orang tua merayakan ulang tahun anak- anaknya, bahkan di hotel berbintang sekalipun, namun berapa banyak orang tua yang merayakan ulang tahun anaknya dengan mengajukan ujud ucapan syukur pada Misa Kudus? Atau merayakan Baptisan anak-anaknya, Komuni Pertama ataupun sakramen Penguatan, walaupun hanya dengan doa sederhana di rumah? Padahal makna Baptisan jauh lebih berharga dan bahkan tak bisa dibandingkan dengan makna perayaan ulang tahun. Karena Baptisan menghantarkan ke kehidupan surgawi yang kekal, bukan hanya merayakan pertambahan tahun kita hidup di dunia ini. Lalu, ada banyak orang tua mementingkan acara ‘berkeliling makan’ setiap minggunya, di satu restoran ke restoran yang lain, mall yang satu ke mall yang lain, namun apakah orang tua rajin mempersiapkan batin anak- anaknya, dan diri mereka sendiri, untuk mengikuti perayaan Ekaristi? Misalnya dengan merenungkan bacaan Injil hari Minggu pada hari Sabtu malam ataupun Minggu pagi sebelum ke gereja?
Dalam hal ini, peran ayah/ bapa cukup penting, yaitu sebagai imam di dalam keluarga. Para bapa dipanggil untuk memimpin keluarganya untuk tetap tinggal di dalam Tuhan. Hal ini dapat diwujudkan dengan cara- cara sederhana, misalnya; para bapa memimpin doa keluarga, entah pada pagi atau malam hari; bapa memberkati anak- anaknya dengan tanda salib di dahi sebelum anak berangkat ke sekolah; bapa membacakan kisah Kitab Suci kepada anak- anak dan menjelaskannya, bapa menyiapkan anak- anak untuk menerima sakramen dengan penuh rasa syukur dan seterusnya. Tentu saja, ini mensyaratkan bahwa para bapa (dan juga ibu) menghayati iman Katolik agar penghayatan ini dapat dibagikan kepada anak- anak.
2. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih dan kebersamaan di rumah
Kasih orang tua merupakan elemen dasar dan sumber yang menentukan kualitas peran orang tua sebagai pendidik[10]. Suasana kasih harus ada di dalam rumah kita, agar kita dapat mendidik anak- anak kita dengan baik. Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama -dalam hal ini para anggota keluarga di rumah- sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan. [11]
Selanjutnya, maksud bahwa kasih orang tua adalah dasar bagi pendidikan anak, adalah kasih itu harus menjiwai semua prinsip pendidikan anak, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. [12] Kasih yang rela berkorban ini menjadi dasar yang menghidupi keluarga, sehingga keluarga menjadi gambaran akan Gereja yang dihidupi oleh kasih pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah antara lain, yang menjadikan keluarga menjadi Ecclesia domestica (Gereja kecil/ Gereja rumah tangga).[13] Atas prinsip ini, kita sebagai orang tua harus memikirkan apakah yang terbaik bagi anak menurut kehendak Tuhan, dan bukan sekedar apakah yang disenangi anak. Sebab umumnya apa yang terbaik bagi anak menuntut pengorbanan dari orang tua. Sebagai contohnya adalah bahwa orang tua perlu meluangkan waktu bagi anak- anak, agar dapat mendengarkan dan berkomunikasi dengan mereka dari hati ke hati. Komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga. Waktu kebersamaan ini memang idealnya dilakukan setiap hari, misalnya setiap makan malam, atau sebelum doa malam. Namun juga pada waktu akhir pekan, pada hari Minggu, atau terutama juga pada saat liburan sekolah, orang tua perlu menyediakan waktu untuk anak- anak, berlibur bersama anak- anak. Tidak perlu di tempat yang mahal- mahal, namun perlu diusahakan waktu kebersamaan, di mana anak- anak dapat bermain bersama orang tua, tertawa bersama, saling curhat dan mendengarkan satu sama lain.
Dalam saat- saat seperti inilah umumnya, orang tua dapat sedikit demi sedikit ‘masuk’ dalam memberikan pengajaran, entah dari kata- kata atau dari teladan, tentang kebaikan Tuhan, tentang kehadiranNya dalam hidup kita, dan tentang pentingnya iman dalam kehidupan ini. Saat- saat inilah orang tua dapat mengajarkan tentang kehadiran Allah dalam hal- hal yang sederhana, lewat alam ciptaan di sekitar kita dan lewat orang- orang yang kita jumpai. Inilah kesempatan orang tua mengajarkan kepada anak- anak untuk mengucap syukur, jika melihat pemandangan yang indah, jika dapat makan makanan yang enak, jika dapat bermain dengan seru dengan teman- teman yang baru, dan seterusnya. Jika anak- anak sudah dapat mengalami kehadiran Tuhan dalam hal- hal sederhana, maka besar kemungkinan mereka akan mempunyai kepekaan untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan dan berkeinginan untuk melaksanakan kehendak-Nya.
3. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani
Dalam suasana kasih inilah, keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan seterusnya. Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.
Untuk menanamkan kebajikan Kristiani inilah orang tua mengambil bagian di dalam otoritas Allah Bapa dan Kristus Sang Gembala; dan juga di dalam kasih keibuan Gereja.[14] Artinya, orang tua tidak boleh enggan untuk memberi koreksi jika anak melakukan kesalahan, namun tentu saja koreksi itu diberikan dengan motivasi kasih. Jadi dalam penerapannya adalah, orang tua boleh tegas, tetapi jangan sampai kehilangan pengendalian diri pada waktu menegur anak kita. Selanjutnya, setelah memberikan koreksi, dan anak telah menyadari kesalahannya; penting sekali anak itu kembali dirangkul dan menerima peneguhan bahwa kita sebagai orang tua tetap mengasihinya. Maka tujuan koreksi tersebut adalah pertama- tama bukan supaya mereka takut kepada kita orang tuanya, tetapi supaya anak- anak dapat mengetahui bahwa perbuatan salahnya itu mendukakan hati Tuhan.
4. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.
Selanjutnya, dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II adalah:
1) keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan;
2) hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita,
3) pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa;
4) pendidikan tentang kemurnian (chastity);
5) pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertindak dengan penuh tanggungjawab.[15].
Maka, pertama- tama, orang tua perlu mengajarkan tentang prinsip keadilan yang menghormati setiap orang, terutama mereka yang memerlukan perhatian dan bantuan kita secara khusus. Contohnya, anak- anak yang lebih besar harus diajarkan untuk melindungi adik- adiknya atau anak- anak yang lebih kecil. Atau anak- anak harus diajarkan untuk menghormati dan memberi perhatian kepada opa dan oma, terutama jika opa dan oma sudah tua. Menggandeng tangan mereka, mengajak mereka bicara adalah suatu contoh yang sederhana. Anak- anak juga harus diajarkan untuk bersikap sopan kepada orang- orang yang lebih tua, termasuk juga pembantu rumah tangga dan sopir. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk bersikap peka untuk membantu orang- orang yang memerlukan bantuan, misalnya menghibur jika ada anggota keluarga yang sakit, mendoakan orang- orang lain yang sedang kena bencana, memberi sedekah kepada orang miskin dan seterusnya. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk menghargai kehidupan manusia, dan bahwa manusia terbentuk sejak dalam kandungan ibu, sehingga kelak anak- anak memahami bahwa bukan hak mereka untuk mengakhiri hidup manusia, entah melalui aborsi atau euthanasia.
Kedua, orang tua perlu memberikan teladan kepada anak- anak, bahwa ‘memberi adalah suka cita’. Ini sangat penting, untuk membentuk karakter anak agar murah hati dan tidak egois. Anak- anak perlu diingatkan bahwa mereka bukan ‘pusat dunia’, atau king or queen of the universe. Anak- anak perlu diajarkan agar senang berbagi, sebab segala yang dimilikinya adalah berkat ‘titipan’ Tuhan. Ingatkan kepada anak- anak bahwa: “… Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Kor 9:7) ‘Memberi’ di sini, mempunyai arti luas, tidak hanya benda materi, namun juga suka cita, kasih, dan pengampunan.[16]
Ketiga, pendidikan seksualitas pada anak juga perlu mendapat perhatian, yang dapat disampaikan sesuai dengan umur anak. Jangan sampai seksualitas dibatasi menjadi sensualitas; namun harus mencakup keseluruhan pribadi seseorang, tubuh, jiwa maupun emosi. Penghayatan macam ini melihat bahwa secara kodrati ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan, yang bukan saja berkaitan dengan jenis kelaminnya, tetapi menyangkut keseluruhan pribadinya. Jadi sejak kecil anak- anak laki- laki harus diajarkan untuk misalnya, tidak memukul perempuan, namun harus melindungi anak- anak perempuan. Anak- anak harus diajarkan untuk menghormati “privacy“, menghormati tubuh dengan tidak mempermainkan organ- organ seksual. Anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, tempat kediaman Roh Kudus, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:19-20, 3:16). Dalam hal ini anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh mereka adalah milik Allah, jadi kita harus menghormati dan menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah. Penghormatan terhadap tubuh ini menghantar kepada prinsip berikutnya, yaitu tentang kemurnian.
Maka prinsip keempat tentang pendidikan tentang kemurnian/chastity berhubungan dengan seksualitas. Jika anak- anak sudah diajarkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, selanjutnya anak- anak perlu diingatkan untuk menjaga kekudusan tubuhnya sebagai bait Allah ini; dan selanjutnya juga untuk menghormati kekudusan tubuh orang lain. Hal ini dapat dimulai dengan memberikan pengarahan sederhana kepada anak- anak, terutama kepada anak- anak perempuan agar memakai pakaian yang sopan, yang tidak serta merta mengikuti mode pakaian yang tidak mendukung anak untuk menjunjung tinggi kemurnian. Dalam hal ini penting pendekatan ibu kepada anak- anak perempuan, dan bapa kepada anak- anak laki- laki, agar mereka dapat diarahkan untuk memandang tubuh mereka sebagai anugerah dari Tuhan yang harus mereka jaga kesuciannya sesuai dengan kehendak Tuhan yang menciptakannya. Menjadi relevan di sini adalah jika kita mendorong mereka untuk mencontoh teladan Bunda Maria dan Santo Yosef, yang menjaga kemurnian tubuh mereka, demi mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan.
Terakhir, orang tua perlu memberikan pengarahan tentang pendidikan moral kepada anak- anak, supaya anak- anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Pegangan yang paling praktis memang adalah kesepuluh perintah Allah, dan orang tua dapat membaca penjabarannya dalam Katekismus Gereja Katolik, no. 2083- 2557. Namun yang terpenting adalah, bagaimana menyampaikan intinya kepada anak- anak dengan bahasa yang dapat dipahami oleh anak- anak, agar anak- anak dapat memahaminya dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya. Selanjutnya tentang menanamkan tanggung jawab pada anak- anak, dapat dimulai dari hal- hal yang sederhana, seperti merapikan tempat tidur sendiri, membawa piring kotor maupun pakaian kotor ke tempat cuci, merapikan buku- buku ataupun mainan yang baru selesai dipakai, dst. Anak- anak juga perlu dilatih untuk menerima konsekuensi atas perbuatan yang dilakukannya, terutama jika mereka melakukan kesalahan. Konsekuensi ini bukan semata- mata untuk menghukum, tetapi untuk menyadarkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan mempunyai akibat, dan kita harus menanggungnya. Kesadaran ini akan membuat anak melakukan segala sesuatunya dengan penuh tanggungjawab, karena sejak kecil anak terbiasa untuk berpikir jauh ke depan sebelum bertindak. Contoh yang paling umum untuk menerapkan konsekuensi pada anak adalah menahan ‘privilege‘ mereka untuk sementara waktu; misalnya jika mereka berkata kurang ajar/ melawan orang tua, maka konsekuensinya, mereka tidak mendapat uang jajan/ uang jajan dikurangi untuk beberapa hari. Namun, sebelum diberikan sangsi, orang tua sudah harus memberitahukan ‘aturan main’ ini pada anak, sehingga mereka tidak terkejut dan protes. Pada saat aturan ini diberlakukan, orang tua harus tetap menunjukkan kasih kepada anak- anak, sehingga anak- anak tahu bahwa konsekuensi ini dilakukan bukan karena orang tua membenci anak, tetapi karena orang tua sedang membentuknya untuk menjadi orang yang lebih baik.
5. Pengajaran tentang iman dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama-sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ kerabat/ saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka. Atau mengajak anak- anak bermain bersama, entah main monopoli, main kartu, atau main bulutangkis, namun kemudian mengajarkan anak- anak untuk bersikap sportif; mengakui kelebihan orang lain -jika ia kalah-, dan tidak boleh sombong dan meremehkan orang lain, jika ia menang.
Setelah anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa. Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.
6. Orang tua bertanggungjawab untuk membentengi anak terhadap pengaruh buruk lingkungan sekitar
Menyadari akan kuatnya pengaruh negatif dari mass media maupun lingkungan pergaulan di sekitar kita, orang tua harus mempunyai perhatian untuk turut menyeleksi hal- hal tersebut demi anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Orang tua juga perlu menyeleksi bacaan/ majalah yang ada di rumah; misalnya para bapa tidak membeli majalah/ bacaan kaum pria yang seolah menyajikan tubuh wanita sebagai ‘obyek’ sensualitas, dst.
Mungkin perlu juga mendapat perhatian, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak dan remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.
7. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk mempersembahkan diri dan talenta yang dimilikinya untuk membangun Gereja.
Adalah penting bagi orang tua untuk mengenali bakat dan kemampuan khusus anak- anaknya dan mengarahkan mereka untuk mengembangkannya demi kemuliaan Tuhan. Maka jika anak berbakat musik, entah menyanyi atau bermain alat musik, gabungkanlah mereka kepada kelompok koor di gereja. Jika anak pandai berolah raga, gabungkanlah ia dalam grup olah raga anak- anak dan remaja; jika belum ada di paroki anda, mulailah bersama dengan beberapa keluarga yang lain. Jika anak pandai menulis/ mengarang, doronglah anak untuk mengirimkan karangannya ke redaksi majalah di paroki. Jika anak berminat untuk berorganisasi, gabungkan mereka dalam kegiatan organisasi paroki, seperti putra- putri altar/ SEKAMI (Serikat Kepausan Anak dan remaja Misioner), Legio Mariae (mini), dst. Anak- anak perlu diajarkan untuk mengenal, mencintai iman Katolik agar mereka dapat hidup sesuai dengan imannya, mempertahankan imannya dan mewartakannya.[17]
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Sedini mungkin mereka harus menyadari bahwa selain menjadi anggota keluarganya sendiri, ia merupakan anggota keluarga Allah yang lebih besar, yaitu Gereja. Sehingga jika ia aktif mendukung Gereja, artinya ia turut memuliakan Allah yang mendirikannya.
8. Orang tua mengarahkan anak untuk menemukan panggilan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejatinya
Akhirnya, penting bagi orang tua untuk membantu anak- anak menemukan panggilan hidupnya, entah panggilan hidup berkeluarga maupun hidup selibat untuk Kerajaan Allah. Walaupun nampaknya masih ‘jauh’ ke depan, namun orang tua perlu mempersiapkan anak- anak tentang hal ini. Orang tua perlu memiliki kelapangan hati untuk memperkenalkan panggilan hidup membiara kepada anak- anak; dan memupuk hal tersebut, jika orang tua melihat adanya benih panggilan itu tumbuh dalam diri sang anak. Katekismus jelas mengajarkan demikian, “…. Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani.” [18]. Tentu dalam hal ini, kita orang tua perlu memiliki sikap kemurahan hati, dan kesadaran bahwa anak- anak adalah titipan Tuhan, sehingga jangan sampai kita berpandangan, “Semoga Tuhan memanggil banyak orang muda untuk menjadi imam, tetapi jangan anak saya….” Mari kita memohon kepada Tuhan agar kita dimampukan untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang, manakah yang terbaik demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita sekeluarga dan sekalian umat beriman. Sebab dengan demikian, kita akan mempunyai sikap yang lebih terbuka dalam mengarahkan anak- anak menemukan panggilan hidup mereka; dan dengan lapang hati dan suka cita, mendukung keputusan mereka, tanpa memaksakan kehendak kita sebagai orang tua. Berbahagialah para orang tua yang mendukung anak- anaknya jika mereka terpanggil untuk mempersembahkan diri seutuhnya untuk Kerajaan Allah; sebab sesungguhnya dengan demikian, orang tua juga mempersembahkan yang terbaik, yaitu buah hati mereka, kepada Tuhan. Percayalah Tuhan akan melipatgandakan suka cita dan kebahagiaan sejati bagi keluarga- keluarga tersebut, baik di dunia ini maupun di Surga kelak.
Kesimpulan: Mari memohon rahmat Tuhan untuk melaksanakan tugas mulia ini
Sungguh besarlah peran orang tua dalam mendidik anak- anak, membentuk karakter dan membina iman mereka, serta mengarahkan mereka kepada Kerajaan Surga. Namun kita percaya bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada kita melalui Gereja-Nya, yang secara khusus kita terima di dalam sakramen- sakramen, dalam doa dan permenungan akan Sabda-Nya. Dengan rahmat Tuhan inilah kita dimampukan untuk membangun keluarga kita atas dasar yang kuat. Oleh kasih karunia-Nya, kita dimampukan untuk teguh di dalam iman dan melaksanakannya dengan suka cita. Pengalaman akan kasih Allah dan mengasihi Allah inilah yang menjadi tali pengikat di dalam keluarga, sehingga apapun serangan dari luar tidak akan menggoyahkannya.
CATATAN KAKI:
lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 1: “Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya. [↩]
Ibid [↩]
Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37 [↩]
Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36 [↩]
lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 36, 40 [↩]
Paus Paulus VI, Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, Familiaris Consortio, 60 [↩]
lih. Familiaris Consortio 61 [↩]
Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26, 1985 [↩]
lih. Familiaris Consortio 39 [↩]
lih. Familiaris Consortio, 36 [↩]
lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3 [↩]
lih. Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36 [↩]
lih. Familiaris Consortio, 49 [↩]
lih. Familiaris Consortio 38 [↩]
lih. Familiaris Consortio 37 [↩]
lih. KGK 1657 [↩]
lih. Familiaris Consortio, 54 [↩]
KGK 1656, lih. Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 11,2
Note: katolisitas.org
Mungkin kalimat “keluarga sedang diserang” terlihat terlalu bombastis dan tidak realistis, karena ada sebagian dari kita yang merasa bahwa keluarganya baik-baik saja. Namun, kalau kita mengetahui hakekat dan tujuan keluarga Katolik yang sebenarnya, maka sudah seharusnya kita melihat bahwa ancaman terhadap keluarga- keluarga Katolik adalah sesuatu yang nyata terjadi di sekitar kita. Terlebih lagi, jika kita juga menyadari tanggung jawab orang tua dalam pendidikan iman anak, maka kita akan semakin waspada akan ancaman ini, dan mengusahakan semampu kita agar jangan sampai kita jatuh dan ‘menyerah’ pada keadaan.
Jika kita melihat dunia di sekitar kita, kita dapat dengan jujur melihat bahwa ada begitu banyak perkawinan yang hancur. Kehancuran perkawinan ini bukan hanya menimpa teman atau kerabat yang jauh, namun juga telah menimpa sahabat dan saudara yang dekat dengan kita. Berapa banyak dari kita yang melihat bahwa anak-anak teman atau saudara kita yang kehidupannya berantakan, terjebak narkoba dan seks bebas, bahkan sampai pernah dipenjara. Mungkin kita juga sering melihat ada begitu banyak anak yang lahir dari keluarga Katolik, namun akhirnya berpindah ke gereja lain atau mungkin ke agama lain, atau mungkin menjadi ateis. Inilah kondisi yang dialami oleh orang tua di zaman sekarang, yang akarnya adalah karena orang tua tidak cukup melaksanakan pendidikan iman Kristiani kepada anak- anak sejak sedini mungkin. Memang dapat dikatakan bahwa di jaman sekarang, membesarkan anak-anak dan menanamkan iman Kristiani dalam diri mereka menjadi lebih sulit, karena kondisi dunia sekarang memang sering bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Bahkan dinamika kehidupan di dalam rumah kita sendiri sering menambah sulitnya penerapan nilai- nilai Kristiani. Kondisi macet, kesibukan orang tua, pengaruh mass media, pola hidup konsumtif, mental ‘tidak mau repot’, adalah beberapa contohnya, mengapa orang tua menghadapi tantangan yang besar untuk melaksanakan peran mereka sebagai pendidik utama bagi anak- anak dalam keluarga, terutama dalam hal iman.
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, “Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ”
Ungkapan ini adalah suatu ironi, namun menyiratkan keputus asaan orang tua, atau penyesalan bahwa segala sesuatunya sudah terlanjur. Kita harus mengusahakan sedapat mungkin agar jangan sampai anak- anak kita bertumbuh menjadi semaunya dan ‘tak terkendali’, lalu kita hanya dapat menyesalinya. Selalu ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah hal- hal yang buruk terjadi pada anak- anak kita, dan kita dapat memulainya dengan langkah sederhana: yaitu dengan setia menanamkan iman kepada anak- anak kita sejak mereka masih kecil. Harapannya ialah, setelah mereka tumbuh remaja dan dewasa, mereka dapat menjadi pribadi- pribadi yang utuh, beriman dan bertanggungjawab.
Bagaimana melawan serangan dari luar dan membangun keluarga kristiani dari dalam?
Ibarat sebuah rumah, maka keluarga juga harus dibangun atas dasar yang kuat. Dan dasar pondasi yang kuat itu adalah iman akan sabda Tuhan dan penerapannya di dalam perbuatan kita (lih. Mat 7:24-27). Keluarga adalah tempat pertama bagi anak- anak untuk menerima pendidikan iman dan mempraktekkannya. Dalam hal ini orang tua mengambil peran utama, yaitu untuk menampakkan kasih Allah, dan mendidik anak- anak agar mengenal dan mengasihi Allah dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dimulai dengan mengasihi orangtua, kakak dan adik, teman- teman di sekolah, pembantu rumah tangga dan sopir, dst. Jadi adalah tugas orang tua, untuk membentuk karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi yang mengutamakan Allah dan perintah- perintah-Nya. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, agar ingat akan kehadiran Tuhan di dalam hidup mereka, supaya anak- anak dapat dengan spontan bersyukur, memohon perlindungan dan pertolongan kepada-Nya?
Agaknya perlu kita ingat bersama, mengapa semua hal ini menjadi penting dan harus kita lakukan. Ya, karena kita semua, baik masing- masing maupun sebagai keluarga, kita harus mengingat bahwa tujuan hidup kita yang terakhir adalah Surga. Kita percaya bahwa Tuhan menghendaki kita bersatu dengan Dia di surga, maka kita harus berjuang bersama- sama untuk mencapainya, tentu dengan bantuan rahmat Tuhan.
Tujuan utama pendidikan Kristiani
Dengan tujuan akhir manusia adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga,[1] maka pendidikan anak secara umum harus mengarah kepada pembentukan pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak mereka dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Jadi tugas orang tua adalah menghantar anak- anak agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sudahkah para orang tua menyadari tugas yang mulia ini?
Selanjutnya, mungkin kita bertanya, jika tujuan pendidikan Kristiani adalah surga, bagaimanakah cara untuk mencapainya? Gereja Katolik, melalui Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa anak- anak dapat dihantar untuk mencapai surga, jika mereka diperkenalkan kepada misteri keselamatan, iman, kekudusan agar siap memberikan kesaksian akan pengharapan imannya. Dan dalam hal ini, penerimaan sakramen dan perayaan liturgi menjadi penting, karena di sanalah kita semua menerima rahmat Allah yang menguduskan itu:
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Selain itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …” [2]
Di samping itu, orang tua juga harus mendidik anak- anak agar mengenal dan menerapkan nilai- nilai yang paling esensial dalam hidup manusia, yaitu bahwa setiap manusia itu berharga di mata Tuhan, tidak peduli apakah rasnya, agamanya, atau pekerjaannya. Dengan demikian, anak- anak diajar untuk menghargai orang- orang di sekitarnya, terutama yang kurang beruntung dibandingkan dengan mereka. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan demikian:
“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada karena apa yang dia miliki.” [3]
Adalah suatu permenungan, sejauh manakah kita sebagai orang tua mengajarkan hal ini kepada anak- anak? Jangan sampai anak- anak kita hanya menghargai orang berdasarkan penampilan, atau anak- anak begitu tergiur dengan barang- barang yang mahal- mahal, sehingga tidak mampu lagi menghargai kesederhanaan dan ketulusan.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak
Mengingat pentingnya tujuan pendidikan, dan bagaimana seharusnya dilaksanakan secara Kristiani, maka penting digarisbawahi di sini peran orang tua sebagai pendidik utama anak- anak. Gereja Katolik mengajarkan demikian:
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka”[4]. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain[5].
Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan iman anak- anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.
Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.
Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dan seterusnya.
Bagaimana menanamkan pendidikan iman pada anak- anak?
1. Doa bersama sekeluarga dan mendampingi anak- anak menerima sakramen- sakramen
Doa adalah nafas iman. Maka jika kita ingin menanamkan iman kepada anak- anak, pertama- tama adalah kita harus mengajari mereka berdoa, dan bukan hanya mengajari saja, kita perlu berdoa bersama- sama dengan mereka. Dalam setiap keadaan, baik susah ataupun senang di dalam keluarga, kita perlu berdoa. Dalam keadaan bersuka cita kita mengucap syukur kepada Tuhan; dan dalam keadaan berduka, kesulitan, sakit, kita memohon pertolongan-Nya. Firman Tuhan mengajarkan, “… nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Flp 4:6) Selanjutnya, para orang tua juga perlu mempersiapkan anak- anak untuk menerima sakramen- sakramen. Paus Paulus VI mengajarkan:
“Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” [6]
Di samping penting bagi pertumbuhan iman anak, doa keluarga juga memegang peran yang penting untuk mempersatukan keluarga. Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan hal yang serupa, dengan mendorong keluarga- keluarga untuk bersama- sama membaca dan merenungkan Kitab suci, mempersiapkan diri sebelum menerima sakramen- sakramen, melakukan doa pernyerahan keluarga kepada Hati Kudus Yesus, doa penghormatan kepada Bunda Maria, doa sebelum dan sesudah makan dan doa devosi lainnya. [7]. Mengulangi ajaran Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan pentingnya doa rosario bersama keluarga untuk memupuk kerukunan dan menumbuhkan kehidupan rohani dalam keluarga. Doa bersama sekeluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakan hal ini, firman Allah digenapi dalam keluarga itu, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20) Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.”[8].
Sayangnya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah keluarga tidak menyediakan waktu yang khusus untuk berdoa apalagi merenungkan firman Tuhan bersama- sama. Padahal sejak usia dini, anak- anak umumnya mempunyai kehausan untuk mengenal firman Tuhan. Ada banyak keingintahuan anak- anak tentang banyak hal, terutama juga tentang Tuhan dan kisah- kisah di dalam Kitab Suci. Sebagai orang tua, kita harus menanggapi kerinduan jiwa mereka untuk mengenal Tuhan. Orang tua adalah pewarta Injil yang pertama bagi anak- anak mereka.[9] Sekolah ataupun Bina Iman dapat membantu, namun tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal ini.
Demikian pula, perhatian terhadap sakramen juga perlu ditingkatkan di dalam kehidupan keluarga. Sebab nampaknya ada kecenderungan bahwa orang tua tidak memberi perhatian khusus untuk mempersiapkan batin anak- anak sebelum mereka menerima sakramen- sakramen. Berapa banyak orang tua yang membimbing anak- anaknya memeriksa batin sebelum menerima sakramen Pengakuan Dosa? Banyak orang tua merayakan ulang tahun anak- anaknya, bahkan di hotel berbintang sekalipun, namun berapa banyak orang tua yang merayakan ulang tahun anaknya dengan mengajukan ujud ucapan syukur pada Misa Kudus? Atau merayakan Baptisan anak-anaknya, Komuni Pertama ataupun sakramen Penguatan, walaupun hanya dengan doa sederhana di rumah? Padahal makna Baptisan jauh lebih berharga dan bahkan tak bisa dibandingkan dengan makna perayaan ulang tahun. Karena Baptisan menghantarkan ke kehidupan surgawi yang kekal, bukan hanya merayakan pertambahan tahun kita hidup di dunia ini. Lalu, ada banyak orang tua mementingkan acara ‘berkeliling makan’ setiap minggunya, di satu restoran ke restoran yang lain, mall yang satu ke mall yang lain, namun apakah orang tua rajin mempersiapkan batin anak- anaknya, dan diri mereka sendiri, untuk mengikuti perayaan Ekaristi? Misalnya dengan merenungkan bacaan Injil hari Minggu pada hari Sabtu malam ataupun Minggu pagi sebelum ke gereja?
Dalam hal ini, peran ayah/ bapa cukup penting, yaitu sebagai imam di dalam keluarga. Para bapa dipanggil untuk memimpin keluarganya untuk tetap tinggal di dalam Tuhan. Hal ini dapat diwujudkan dengan cara- cara sederhana, misalnya; para bapa memimpin doa keluarga, entah pada pagi atau malam hari; bapa memberkati anak- anaknya dengan tanda salib di dahi sebelum anak berangkat ke sekolah; bapa membacakan kisah Kitab Suci kepada anak- anak dan menjelaskannya, bapa menyiapkan anak- anak untuk menerima sakramen dengan penuh rasa syukur dan seterusnya. Tentu saja, ini mensyaratkan bahwa para bapa (dan juga ibu) menghayati iman Katolik agar penghayatan ini dapat dibagikan kepada anak- anak.
2. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih dan kebersamaan di rumah
Kasih orang tua merupakan elemen dasar dan sumber yang menentukan kualitas peran orang tua sebagai pendidik[10]. Suasana kasih harus ada di dalam rumah kita, agar kita dapat mendidik anak- anak kita dengan baik. Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama -dalam hal ini para anggota keluarga di rumah- sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan. [11]
Selanjutnya, maksud bahwa kasih orang tua adalah dasar bagi pendidikan anak, adalah kasih itu harus menjiwai semua prinsip pendidikan anak, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. [12] Kasih yang rela berkorban ini menjadi dasar yang menghidupi keluarga, sehingga keluarga menjadi gambaran akan Gereja yang dihidupi oleh kasih pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah antara lain, yang menjadikan keluarga menjadi Ecclesia domestica (Gereja kecil/ Gereja rumah tangga).[13] Atas prinsip ini, kita sebagai orang tua harus memikirkan apakah yang terbaik bagi anak menurut kehendak Tuhan, dan bukan sekedar apakah yang disenangi anak. Sebab umumnya apa yang terbaik bagi anak menuntut pengorbanan dari orang tua. Sebagai contohnya adalah bahwa orang tua perlu meluangkan waktu bagi anak- anak, agar dapat mendengarkan dan berkomunikasi dengan mereka dari hati ke hati. Komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga. Waktu kebersamaan ini memang idealnya dilakukan setiap hari, misalnya setiap makan malam, atau sebelum doa malam. Namun juga pada waktu akhir pekan, pada hari Minggu, atau terutama juga pada saat liburan sekolah, orang tua perlu menyediakan waktu untuk anak- anak, berlibur bersama anak- anak. Tidak perlu di tempat yang mahal- mahal, namun perlu diusahakan waktu kebersamaan, di mana anak- anak dapat bermain bersama orang tua, tertawa bersama, saling curhat dan mendengarkan satu sama lain.
Dalam saat- saat seperti inilah umumnya, orang tua dapat sedikit demi sedikit ‘masuk’ dalam memberikan pengajaran, entah dari kata- kata atau dari teladan, tentang kebaikan Tuhan, tentang kehadiranNya dalam hidup kita, dan tentang pentingnya iman dalam kehidupan ini. Saat- saat inilah orang tua dapat mengajarkan tentang kehadiran Allah dalam hal- hal yang sederhana, lewat alam ciptaan di sekitar kita dan lewat orang- orang yang kita jumpai. Inilah kesempatan orang tua mengajarkan kepada anak- anak untuk mengucap syukur, jika melihat pemandangan yang indah, jika dapat makan makanan yang enak, jika dapat bermain dengan seru dengan teman- teman yang baru, dan seterusnya. Jika anak- anak sudah dapat mengalami kehadiran Tuhan dalam hal- hal sederhana, maka besar kemungkinan mereka akan mempunyai kepekaan untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan dan berkeinginan untuk melaksanakan kehendak-Nya.
3. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani
Dalam suasana kasih inilah, keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan seterusnya. Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.
Untuk menanamkan kebajikan Kristiani inilah orang tua mengambil bagian di dalam otoritas Allah Bapa dan Kristus Sang Gembala; dan juga di dalam kasih keibuan Gereja.[14] Artinya, orang tua tidak boleh enggan untuk memberi koreksi jika anak melakukan kesalahan, namun tentu saja koreksi itu diberikan dengan motivasi kasih. Jadi dalam penerapannya adalah, orang tua boleh tegas, tetapi jangan sampai kehilangan pengendalian diri pada waktu menegur anak kita. Selanjutnya, setelah memberikan koreksi, dan anak telah menyadari kesalahannya; penting sekali anak itu kembali dirangkul dan menerima peneguhan bahwa kita sebagai orang tua tetap mengasihinya. Maka tujuan koreksi tersebut adalah pertama- tama bukan supaya mereka takut kepada kita orang tuanya, tetapi supaya anak- anak dapat mengetahui bahwa perbuatan salahnya itu mendukakan hati Tuhan.
4. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.
Selanjutnya, dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II adalah:
1) keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan;
2) hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita,
3) pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa;
4) pendidikan tentang kemurnian (chastity);
5) pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertindak dengan penuh tanggungjawab.[15].
Maka, pertama- tama, orang tua perlu mengajarkan tentang prinsip keadilan yang menghormati setiap orang, terutama mereka yang memerlukan perhatian dan bantuan kita secara khusus. Contohnya, anak- anak yang lebih besar harus diajarkan untuk melindungi adik- adiknya atau anak- anak yang lebih kecil. Atau anak- anak harus diajarkan untuk menghormati dan memberi perhatian kepada opa dan oma, terutama jika opa dan oma sudah tua. Menggandeng tangan mereka, mengajak mereka bicara adalah suatu contoh yang sederhana. Anak- anak juga harus diajarkan untuk bersikap sopan kepada orang- orang yang lebih tua, termasuk juga pembantu rumah tangga dan sopir. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk bersikap peka untuk membantu orang- orang yang memerlukan bantuan, misalnya menghibur jika ada anggota keluarga yang sakit, mendoakan orang- orang lain yang sedang kena bencana, memberi sedekah kepada orang miskin dan seterusnya. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk menghargai kehidupan manusia, dan bahwa manusia terbentuk sejak dalam kandungan ibu, sehingga kelak anak- anak memahami bahwa bukan hak mereka untuk mengakhiri hidup manusia, entah melalui aborsi atau euthanasia.
Kedua, orang tua perlu memberikan teladan kepada anak- anak, bahwa ‘memberi adalah suka cita’. Ini sangat penting, untuk membentuk karakter anak agar murah hati dan tidak egois. Anak- anak perlu diingatkan bahwa mereka bukan ‘pusat dunia’, atau king or queen of the universe. Anak- anak perlu diajarkan agar senang berbagi, sebab segala yang dimilikinya adalah berkat ‘titipan’ Tuhan. Ingatkan kepada anak- anak bahwa: “… Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Kor 9:7) ‘Memberi’ di sini, mempunyai arti luas, tidak hanya benda materi, namun juga suka cita, kasih, dan pengampunan.[16]
Ketiga, pendidikan seksualitas pada anak juga perlu mendapat perhatian, yang dapat disampaikan sesuai dengan umur anak. Jangan sampai seksualitas dibatasi menjadi sensualitas; namun harus mencakup keseluruhan pribadi seseorang, tubuh, jiwa maupun emosi. Penghayatan macam ini melihat bahwa secara kodrati ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan, yang bukan saja berkaitan dengan jenis kelaminnya, tetapi menyangkut keseluruhan pribadinya. Jadi sejak kecil anak- anak laki- laki harus diajarkan untuk misalnya, tidak memukul perempuan, namun harus melindungi anak- anak perempuan. Anak- anak harus diajarkan untuk menghormati “privacy“, menghormati tubuh dengan tidak mempermainkan organ- organ seksual. Anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, tempat kediaman Roh Kudus, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:19-20, 3:16). Dalam hal ini anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh mereka adalah milik Allah, jadi kita harus menghormati dan menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah. Penghormatan terhadap tubuh ini menghantar kepada prinsip berikutnya, yaitu tentang kemurnian.
Maka prinsip keempat tentang pendidikan tentang kemurnian/chastity berhubungan dengan seksualitas. Jika anak- anak sudah diajarkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, selanjutnya anak- anak perlu diingatkan untuk menjaga kekudusan tubuhnya sebagai bait Allah ini; dan selanjutnya juga untuk menghormati kekudusan tubuh orang lain. Hal ini dapat dimulai dengan memberikan pengarahan sederhana kepada anak- anak, terutama kepada anak- anak perempuan agar memakai pakaian yang sopan, yang tidak serta merta mengikuti mode pakaian yang tidak mendukung anak untuk menjunjung tinggi kemurnian. Dalam hal ini penting pendekatan ibu kepada anak- anak perempuan, dan bapa kepada anak- anak laki- laki, agar mereka dapat diarahkan untuk memandang tubuh mereka sebagai anugerah dari Tuhan yang harus mereka jaga kesuciannya sesuai dengan kehendak Tuhan yang menciptakannya. Menjadi relevan di sini adalah jika kita mendorong mereka untuk mencontoh teladan Bunda Maria dan Santo Yosef, yang menjaga kemurnian tubuh mereka, demi mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan.
Terakhir, orang tua perlu memberikan pengarahan tentang pendidikan moral kepada anak- anak, supaya anak- anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Pegangan yang paling praktis memang adalah kesepuluh perintah Allah, dan orang tua dapat membaca penjabarannya dalam Katekismus Gereja Katolik, no. 2083- 2557. Namun yang terpenting adalah, bagaimana menyampaikan intinya kepada anak- anak dengan bahasa yang dapat dipahami oleh anak- anak, agar anak- anak dapat memahaminya dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya. Selanjutnya tentang menanamkan tanggung jawab pada anak- anak, dapat dimulai dari hal- hal yang sederhana, seperti merapikan tempat tidur sendiri, membawa piring kotor maupun pakaian kotor ke tempat cuci, merapikan buku- buku ataupun mainan yang baru selesai dipakai, dst. Anak- anak juga perlu dilatih untuk menerima konsekuensi atas perbuatan yang dilakukannya, terutama jika mereka melakukan kesalahan. Konsekuensi ini bukan semata- mata untuk menghukum, tetapi untuk menyadarkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan mempunyai akibat, dan kita harus menanggungnya. Kesadaran ini akan membuat anak melakukan segala sesuatunya dengan penuh tanggungjawab, karena sejak kecil anak terbiasa untuk berpikir jauh ke depan sebelum bertindak. Contoh yang paling umum untuk menerapkan konsekuensi pada anak adalah menahan ‘privilege‘ mereka untuk sementara waktu; misalnya jika mereka berkata kurang ajar/ melawan orang tua, maka konsekuensinya, mereka tidak mendapat uang jajan/ uang jajan dikurangi untuk beberapa hari. Namun, sebelum diberikan sangsi, orang tua sudah harus memberitahukan ‘aturan main’ ini pada anak, sehingga mereka tidak terkejut dan protes. Pada saat aturan ini diberlakukan, orang tua harus tetap menunjukkan kasih kepada anak- anak, sehingga anak- anak tahu bahwa konsekuensi ini dilakukan bukan karena orang tua membenci anak, tetapi karena orang tua sedang membentuknya untuk menjadi orang yang lebih baik.
5. Pengajaran tentang iman dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama-sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ kerabat/ saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka. Atau mengajak anak- anak bermain bersama, entah main monopoli, main kartu, atau main bulutangkis, namun kemudian mengajarkan anak- anak untuk bersikap sportif; mengakui kelebihan orang lain -jika ia kalah-, dan tidak boleh sombong dan meremehkan orang lain, jika ia menang.
Setelah anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa. Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.
6. Orang tua bertanggungjawab untuk membentengi anak terhadap pengaruh buruk lingkungan sekitar
Menyadari akan kuatnya pengaruh negatif dari mass media maupun lingkungan pergaulan di sekitar kita, orang tua harus mempunyai perhatian untuk turut menyeleksi hal- hal tersebut demi anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Orang tua juga perlu menyeleksi bacaan/ majalah yang ada di rumah; misalnya para bapa tidak membeli majalah/ bacaan kaum pria yang seolah menyajikan tubuh wanita sebagai ‘obyek’ sensualitas, dst.
Mungkin perlu juga mendapat perhatian, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak dan remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.
7. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk mempersembahkan diri dan talenta yang dimilikinya untuk membangun Gereja.
Adalah penting bagi orang tua untuk mengenali bakat dan kemampuan khusus anak- anaknya dan mengarahkan mereka untuk mengembangkannya demi kemuliaan Tuhan. Maka jika anak berbakat musik, entah menyanyi atau bermain alat musik, gabungkanlah mereka kepada kelompok koor di gereja. Jika anak pandai berolah raga, gabungkanlah ia dalam grup olah raga anak- anak dan remaja; jika belum ada di paroki anda, mulailah bersama dengan beberapa keluarga yang lain. Jika anak pandai menulis/ mengarang, doronglah anak untuk mengirimkan karangannya ke redaksi majalah di paroki. Jika anak berminat untuk berorganisasi, gabungkan mereka dalam kegiatan organisasi paroki, seperti putra- putri altar/ SEKAMI (Serikat Kepausan Anak dan remaja Misioner), Legio Mariae (mini), dst. Anak- anak perlu diajarkan untuk mengenal, mencintai iman Katolik agar mereka dapat hidup sesuai dengan imannya, mempertahankan imannya dan mewartakannya.[17]
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Sedini mungkin mereka harus menyadari bahwa selain menjadi anggota keluarganya sendiri, ia merupakan anggota keluarga Allah yang lebih besar, yaitu Gereja. Sehingga jika ia aktif mendukung Gereja, artinya ia turut memuliakan Allah yang mendirikannya.
8. Orang tua mengarahkan anak untuk menemukan panggilan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejatinya
Akhirnya, penting bagi orang tua untuk membantu anak- anak menemukan panggilan hidupnya, entah panggilan hidup berkeluarga maupun hidup selibat untuk Kerajaan Allah. Walaupun nampaknya masih ‘jauh’ ke depan, namun orang tua perlu mempersiapkan anak- anak tentang hal ini. Orang tua perlu memiliki kelapangan hati untuk memperkenalkan panggilan hidup membiara kepada anak- anak; dan memupuk hal tersebut, jika orang tua melihat adanya benih panggilan itu tumbuh dalam diri sang anak. Katekismus jelas mengajarkan demikian, “…. Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani.” [18]. Tentu dalam hal ini, kita orang tua perlu memiliki sikap kemurahan hati, dan kesadaran bahwa anak- anak adalah titipan Tuhan, sehingga jangan sampai kita berpandangan, “Semoga Tuhan memanggil banyak orang muda untuk menjadi imam, tetapi jangan anak saya….” Mari kita memohon kepada Tuhan agar kita dimampukan untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang, manakah yang terbaik demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita sekeluarga dan sekalian umat beriman. Sebab dengan demikian, kita akan mempunyai sikap yang lebih terbuka dalam mengarahkan anak- anak menemukan panggilan hidup mereka; dan dengan lapang hati dan suka cita, mendukung keputusan mereka, tanpa memaksakan kehendak kita sebagai orang tua. Berbahagialah para orang tua yang mendukung anak- anaknya jika mereka terpanggil untuk mempersembahkan diri seutuhnya untuk Kerajaan Allah; sebab sesungguhnya dengan demikian, orang tua juga mempersembahkan yang terbaik, yaitu buah hati mereka, kepada Tuhan. Percayalah Tuhan akan melipatgandakan suka cita dan kebahagiaan sejati bagi keluarga- keluarga tersebut, baik di dunia ini maupun di Surga kelak.
Kesimpulan: Mari memohon rahmat Tuhan untuk melaksanakan tugas mulia ini
Sungguh besarlah peran orang tua dalam mendidik anak- anak, membentuk karakter dan membina iman mereka, serta mengarahkan mereka kepada Kerajaan Surga. Namun kita percaya bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada kita melalui Gereja-Nya, yang secara khusus kita terima di dalam sakramen- sakramen, dalam doa dan permenungan akan Sabda-Nya. Dengan rahmat Tuhan inilah kita dimampukan untuk membangun keluarga kita atas dasar yang kuat. Oleh kasih karunia-Nya, kita dimampukan untuk teguh di dalam iman dan melaksanakannya dengan suka cita. Pengalaman akan kasih Allah dan mengasihi Allah inilah yang menjadi tali pengikat di dalam keluarga, sehingga apapun serangan dari luar tidak akan menggoyahkannya.
CATATAN KAKI:
lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 1: “Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya. [↩]
Ibid [↩]
Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37 [↩]
Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36 [↩]
lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 36, 40 [↩]
Paus Paulus VI, Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, Familiaris Consortio, 60 [↩]
lih. Familiaris Consortio 61 [↩]
Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26, 1985 [↩]
lih. Familiaris Consortio 39 [↩]
lih. Familiaris Consortio, 36 [↩]
lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3 [↩]
lih. Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36 [↩]
lih. Familiaris Consortio, 49 [↩]
lih. Familiaris Consortio 38 [↩]
lih. Familiaris Consortio 37 [↩]
lih. KGK 1657 [↩]
lih. Familiaris Consortio, 54 [↩]
KGK 1656, lih. Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 11,2
Note: katolisitas.org
Langganan:
Postingan (Atom)